Part 23 : Merasa Tersisih

1.4K 300 73
                                    

Beberapa saat yang lalu, dokter telah selesai menangani Vanya. Beruntung Vanya segera dilarikan ke rumah sakit hingga masih dapat diselamatkan meskipun belum sadarkan diri hingga sekarang. Kini, ia sudah dipindahkah ke ruang rawat inap.

Shanum dan suaminya setia menunggu sang anak siuman. Sesekali Shanum menangis pilu lantaran mengingat anak bungsunya hampir saja bunuh diri. Sementara Akbar berusaha menguatkan istrinya.

Selain Shanum dan Akbar, masih ada Zaidan juga Flora di sana. Sementara adik-adiknya sudah pulang lebih dulu karena besok masih harus kerja dan kuliah.

"Ma, Mama keliatan capek banget. Mending Mama sama Papa pulang aja ya. Biar Abang yang jagain Vanya malam ini. Besok, Mama sama Papa bisa balik lagi," ujar Zaidan pada orang tuanya. Mamanya terlihat lelah karena banyak menangisi Vanya. Zaidan tidak mau jika orang tuanya ikut sakit.

"Mama mau di sini sama Vanya, Bang," sahut Shanum teguh pendirian. Sejak tadi sebelum anak lelakinya yang lain pulang, Zaidan sudah memintanya untuk beristirahat di rumah. Tapi Shanum menolaknya. Ia tak bisa tenang kalau tidak melihat Vanya membuka mata.

"Zaidan benar, Sayang. Kamu emang keliatan capek banget. Kita pulang dulu ya, biar Vanya di sini dijagain sama Zaidan. Besok pagi-pagi kita ke balik lagi," sahut Akbar menanggapi. Ia juga merasa sangat khawatir pada kondisi anak bungsunya. Tetapi dokter mengatakan kalau Vanya sudah baik-baik saja dan hanya menunggunya sadar. Sedangkan istrinya itu tampak lelah karena banyak menangis dan beban pikiran akibat percobaan bunuh diri yang putri bungsu mereka lakukan. Akbar tak ingin jika Vanya sembuh, tapi malah gantian Shanum yang sakit. Ia ingin keduanya sehat.

"Tapi, Pa-"

"Mama perlu istirahat. Papa nggak mau kalo sampai Mama ikutan sakit," bujuk Akbar lagi. Ia pun menghela napas lega ketika akhirnya sang istri menganggukkan kepalanya.

Zaidan menoleh pada sang istri yang berada tepat di sebelahnya. Lalu, ia rapikan rambut Flora yang sedikit berantakan. "Kamu pulang juga sama Mama Papa ya? Biar istirahat di rumah aja," ujar Zaidan pelan. Istrinya pasti lelah seharian ini.

"Aku di sini nemenin kamu," balas Flora keras kepala. Ia sama sekali tak merasa takut jika Zaidan akan berbuat yang macam-macam terhadap Vanya. Flora percaya pada sang suami yang meyayangi Vanya tulus sebagai saudara. Hanya saja, Flora memang ingin berada di samping Zaidan dan menemani sang suami.

"Tapi, Flo-"

"Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya aku tetap di sini sama kamu."

Zaidan menghela napas lantas mengangguk saja. Ia dan Flora gantian menyalami tangan orang tuanya yang hendak pulang.

"Langsung kabarin Mama sama Papa kalo ada apa-apa sama Vanya ya, Bang," pinta Shanum yang Zaidan balas anggukan kepala.

"Iya, Mama sama Papa hati-hati di jalan."

Setelah orang tuanya meninggalkan mereka, Zaidan pun mendekati Vanya dan mengusap rambut adiknya itu. "Kamu kenapa sih, Dek? Sebenarnya kamu lagi punya masalah apa? Kenapa kamu nggak pernah lagi cerita sama Abang? Maafin Abang ya."

Flora memperhatikan Zaidan dalam diam. Ia bertanya-tanya mengapa bisa Vanya salah langkah hingga menjatuhkan hati pada kakak kandungnya sendiri? Padahal, masih banyak lelaki lain di luar sana. Yang lebih dari Zaidan.

Tetapi, yang namanya cinta kadang memang sulit ditebak. Sama seperti yang ia rasakan untuk suaminya. Dulu pernah suka, kemudian benci, dan kembali lagi suka bahkan cinta.

Terkesiap, Flora tidak menyadari jika Zaidan sudah kembali menempati kursi kosong yang berada di sebelahnya. Zaidan melingkarkan tangan di pinggang Flora lantas memeluknya. "Udah larut. Mending kamu tidur," ujar Zaidan sembari mengecup kening Flora.

Unpredictable WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang