Rosé bersandar pada sebuah tiang besi dengan napas yang memburu. Dirasa tempatnya cukup aman, dia memilih mengecek ketersediaan peluru di pistol miliknya.
Dia mendesis, karena hanya tersisa satu peluru disana. Ditambah ia sama sekali tak membawa peluru cadangan. Sedangkan kini mereka hampir tumbang, tak bisa melumpuhkan musuh.
"So Jisub kabur!" Terdengar suara Seokjin yang entah dimana.
"Sepertinya dia tahu jika kita bukan penyusup biasa." Kali ini adalah suara Taehyung.
Kelompok itu tak berniat mengejar. Dengan beberapa memar di wajah, keenam orang itu berkumpul pada satu titik.
"Sekarang, kita hanya bisa berharap pada Yoongi dan yang lain. Semoga mereka bisa mendapatkan buktinya." Chanyeol berujar dengan pasrah.
Duduk lemas di aspal itu dengan tangan mengusap darah yang menetes dari keningnya. Memandangi satu persatu anggotanya, dan bersyukur tak ada yang mendapat luka serius.
"Apakah mereka belum memberi kabar?" Jisoo bertanya. Dibenaknya, ada perasaan khawatir untuk Jennie dan Lalice.
Chanyeol menggeleng. Mereka memang sudah sepakat, akan memberi kabar jika rencana berhasil. Ini sudah pukul sebelas malam. Seharusnya tugas yang dijalankan Lalice dan kelompoknya sudah selesai.
"Apakah tidak apa mendapatkan bukti secara diam-diam? Maksudku, apa pengadilan akan menerimanya nanti?" Yang dimaksud oleh Rosé adalah bukti yang mereka dapat tampak seperti ilegal. Dimana mereka harus seperti perncuri untuk mendapatkan bukti kejahatan So Jisub.
"Mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa mengharapkan siapa pun. Bahkan polisi yang seharusnya melakukan ini saja kini berada di pihak So Jisub." Namjoon menjawab pertanyaan Rosé.
Entah diterimanya atau tidak bukti yang mereka bawa, itu urusan nanti. Karena jika seandainya pengadilan tidak menerima, maka mereka akan menggunakan suara masyarakat yang biasanya lebih tajam dari hukum negara.
..........
Sebuah kardus dengan isi puluhan lembar kertas ia buka. Menahan napas saat salah satu lembarannya ia angkat. Kertas usang, yang terakhir kali ia lihat sekitar 18 tahun lalu.
Berusaha mengabaikannya, Joohyun meletakkan kertas itu asal. Lalu mengeluarkan seluruh isi kardus, hingga matanya mendapati sebuah memory card berwarna biru yang terselip disana.
Seperti melihat berlian, Joohyun meraihnya. Ia segera keluar dari gudang itu. Meninggalkan sang anak yang memilih untuk membereskan kembali kertas-kertas berantakan ulah Joohyun barusan.
Sehun menelan salivanya susah payah, tatkala tangannya meraih kertas yang semula Joohyun pandang dengan sendu.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa Eomma mencari lukanya kembali?" Sehun menggeleng pelan, mulai memasukkan sebuah akta kelahiran dan beberapa berkas lainnya kembali pada tempatnya.
Sedangkan di dalam kamar besar itu, Joohyun mulai menyalakan sebuah macbook. Memasukkan memory card yang ia temukan pada port di macbook itu.
Memejamkan matanya sejenak, Joohyun berusaha menguatkan diri. Setelah mendapatkan keyakinannya, wanita itu membuka satu-satunya video yang tersedia.
Matanya mulai memerah ketika melihat sesosok pria yang amat ia benci, sampai detik ini. Tak lama, tawa menggelegar terdengar. Hati Joohyun berdenyut menyaksikan layar macbooknya kini.
"Kim Junmyeon, kau dengar? Darah... Harus dibalas dengan darah."
Yang berbicara itu adalah sosok So Jisub delapan belas tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter ✔
FanfictionSebuah kepahitan akan terasa manis dipandangan orang lain. Itulah hidup, setiap orang tidak akan bisa memandang kehidupan secara sama. Menilai adalah keahlian, namun meneliti adalah suatu keseganan untuk mereka. Kim Jisoo, Kim Jennie, Rosé Park, dan...