Sejak awal, Lalice tidak pernah berharap untuk hidupnya sendiri akan bagaimana nanti. Bahkan hampir saja gadis itu mati rasa, sebelum akhirnya sosok gadis berambut cokelat datang dalam hidupnya disusul oleh dua gadis lain yang tak kalah penting untuk Lalice saat ini.
Ia tidak pernah berharap akan bertemu orang tuanya. Ia tidak pernah berharap hidupnya yang penuh dengan kekurangan akan berubah. Mungkin, hanya satu kali ia pernah bergumam ingin mengetahui siapa orang tuanya. Tapi tidak dengan bertemu mereka. Karena membayangkannya saja pasti Lalice sudah kesulitan.
Benar saja. Saat semua itu terjadi, Lalice bahkan bingung harus mengartikan apa perasaannya saat ini. Ia bahagia? Tidak juga. Ia marah? Lalice bahkan tidak tahu siapa yang salah dalam membuat hidupnya seperti ini.
Lalice belum menerima tentang keberadaan keluarga kandungnya, itu benar. Sampai saat ini, bahkan Lalice bingung harus bersikap seperti apa untuk menghadapi keluarganya sendiri.
"Melamunkan apa?" Pandangan Lalice yang semula terarah pada suasana jalanan Seoul kini teralihkan.
Jennie yang duduk di sampingnya dengan senyuman hangat. Satu-satunya sosok keluarga kandung yang Lalice bisa terima tanpa merasa ragu sedikit pun.
"Aku masih berpikir jika ini mimpi. Bagaimana bisa tiba-tiba keluargamu meng klaim jika aku adalah adik kandungmu. Itu hal yang konyol." Lalice terkekeh, dan Jennie paham jika adiknya sedang kebingungan.
Semakin mendekatkan dirinya pada tubuh Lalice, Jennie manarik kepala adiknya untuk bersandar pada dadanya. Mengusap surai abu itu dengan lembut.
"Lili, keluarga kita tidak bisa dibilang manis. Tapi walaupun begitu, keluarga kita cukup hangat." Jennie mengutarakan sesuatu yang selama ini tak pernah ia beritahu.
Keluarganya terlalu sibuk dengan hal lain, hingga lupa memperkenalkan diri mereka sendiri pada Lalice. Membuat gadis itu harus dipaksa menerima tapi tak mengenal apa pun tentang keluarganya.
"Bagimu mungkin ini konyol. Tapi bagiku, ini adalah anugrah yang sungguh aku syukuri." Lalice mendongak untuk menatap kakaknya, dan saat itulah Jennie memberikan kecupan singkat di hidungnya.
Jangan katakan jika Lalice tidak terkejut. Tentu saja dia tidak menyangka Jennie akan melakukan itu. Terkadang, ia memang mendapatkan hal seperti itu dari ketiga sahabatnya. Tapi tentu Lalice akan berusaha menolaknya karena itu bukan hal yang Lalice sukai.
"Kau---"
"Aku tidak menbutuhkan izinmu lagi untuk melakukan apa pun. Kau adalah adikku. Kau milikku sekarang, Lili-ya." Ini bukan hal yang baik untuk Lalice.
Ia mengangkat kepalanya dari bahu Jennie. Kembali menatap suasana di luar dari jendela mobil. Entah kenapa perjalanan mereka terasa sangat lama.
"Aku belum mengetahui sifat anggota keluargamu. Aku bahkan tak tahu harus bersikap seperti apa. Aku takut menyinggung mereka jika salah dalam berucap." Lalice berusaha menghilangkan rasa canggungnya pada Jennie dengan membahas hal lain.
Dalam hati, Jennie mencibir adiknya. Takut menyinggung keluarganya? Bahkan sejak awal Lalice sudah melakukan itu dengan tidak mengakui mereka.
"Kau akan mengetahui sifat mereka seiring berjalannya waktu. Aku sedang malas bercerita." Jennie bersedekap dengan memberi jarak pada Lalice.
Gadis berpipi mandu itu pasti merasa kesal. Lalice hanya tersenyum tipis melihatnya, lalu memilih diam selama perjalanan menuju rumah.
Lalice bukan pertama kalinya mengunjungi kediaman itu. Ia pernah kesana satu kali bersama Jungkook saat mengawal Kim Junmyeon pulang setelah hampir dicelakai orang-orang So Jisub.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter ✔
FanfictionSebuah kepahitan akan terasa manis dipandangan orang lain. Itulah hidup, setiap orang tidak akan bisa memandang kehidupan secara sama. Menilai adalah keahlian, namun meneliti adalah suatu keseganan untuk mereka. Kim Jisoo, Kim Jennie, Rosé Park, dan...