Dia membutuhkan seseorang untuk menamparnya, agar ia bisa terbangun dari mimpi ini. Tapi siapa yang mau menampar seseorang yang baru saja tersadar setelah melewati masa kritis?
Dengan tubuh yang masih dipenuhi berbagai alat medis itu, Jennie benar-benar tergagu setelah mendengar cerita melalui mulut Jisoo juga Rosé.
Dia tidak tertidur dengan waktu yang lama. Tapi mengapa banyak sekali kejadian yang ia lewatkan begitu saja? Termasuk, kejadian yang membuat perasaanya menjadi aneh.
Ia memiliki seorang adik? Dan sosok itu adalah Lalice? Jennie masih tidak bisa mengerti bagaimana cerita hidupnya menjadi seperti ini.
Bukan Jennie tak senang. Ia hanya merasa bingung. Keluarganya tak pernah bercerita mengenai hal ini. Mereka bahkan hidup seakan Lalice benar-benar tak pernah ada.
"Dia hidup dalam kesusahan selama ini. Bagaiama kita bisa tidak menganggapnya ada?" Saat ini, perasaan Jennie begitu sesak.
Ia tahu bagaimana cerita hidup Lalice selama delapan belas tahun. Ia tahu seberapa pahit kehidupan yang Lalice jalani. Penuh rasa sakit, sendirian, tanpa kasih sayang. Lalice menjalani itu sampai ketiga sahabatnya datang.
"A-Aku ingin bertemu dengannya." Jennie berusaha bangkit. Tapi ia tidak bisa. Tubuh itu terasa sangat lemas. Ditambah Rosé menahan bahunya agar tak bergerak.
"Kau sadar tidak? Kau itu hampir mati. Jadi diam saja disini dan pulihkan kesehatanmu." Rosé mengomel. Ia bahkan masih tak bisa melupakana bagaimana Jennie yang harus berada dalam hidup dan matinya kemarin.
"Tapi Lili---"
"Dia juga sedang beristirahat. Saat sudah sadar, aku akan membawanya kesini." Jisoo berujar memberi Jennie pengertian.
Sampai detik ini pun, gadis itu juga masih sulit percaya bahwa Lalice adalah adik sepupunya. Pantas saja selama ini dia begitu tak asing dengan sikap Lalice. Gadis berponi itu sangat mirip dengan Sehun. Untung lah Jisoo tak sempat menjodohkan kedua orang itu karena memiliki sifat yang sama.
"Dia baik-baik saja kan?" tanya Jennie khawatir. Mendengar Lalice yang dilarikan ke rumah sakit membuat perasaan Jennie tak tenang.
"Satu tulang rusuknya retak. Lukanya juga mengalami infeksi. Tapi kau tahu bagaimana Lili. Dia bahkan tak akan meringis ketika peluru menembusnya."
Kali ini Jennie setuju dengan perkataan Jisoo. Ia masih ingat, saat punggung Lalice terluka dulu. Tak ada sama sekali ringisan yang terdengar. Jennie bahkan menduga bahwa Lalice sudah kehilangan fungsi indra perabanya.
..........
Tangannya bergetar hebat ketika menggenggam selembar kertas itu. Junmyeon tidak tahu harus bereaksi seperti apa, ketika kertas yang menunjukkan hasil tes DNA Lalice dengan dirinya cocok.
Sebenarnya, Junmyeon sudah cukup percaya dengan bukti video yang Manwo berikan padanya. Tapi lelaki bermarga Cha itu masih memaksa Junmyeon untuk melakukan tes DNA bersama Lalice agar lebih percaya.
"Dia pernah menghampiriku saat di taman beberapa hari lalu. Mantelnya bahkan masih kusimpan." Junmyeon mengerjab saat mendengar suara lirih istrinya.
Ia bisa melihat ada binar kebahagiaan di mata Joohyun walau wanita itu sedang menangis. Dia tampak bahagia menatap Lalice yang kini tengah terbaring tak sadarkan diri.
"Saat itu, aku melihat bekas lukanya. Seharusnya aku sadar lebih awal. Seharusnya aku mengenalinya saat itu." Isakan itu mulai terdengar. Junmyeon segera meraih sang istri untuk di dekap.
Lelaki itu tak ingin mengatakan apa pun. Ada banyak rasa yang hinggap di hatinya. Semua bercampur aduk, hingga tak ada kalimat yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter ✔
FanfictionSebuah kepahitan akan terasa manis dipandangan orang lain. Itulah hidup, setiap orang tidak akan bisa memandang kehidupan secara sama. Menilai adalah keahlian, namun meneliti adalah suatu keseganan untuk mereka. Kim Jisoo, Kim Jennie, Rosé Park, dan...