Bitter : 23. A Man

6.9K 1.2K 172
                                    

Saat itu jam makan siang, ketika Lalice diseret oleh Jisoo pergi menuju toilet. Dimana sudah ada Rosé dan Jennie yang berdiri menunggu mereka. Raut wajah ketakutan masih keantara, dan Lalice sudah bisa menebak apa yang akan mereka katakan padanya.

"Ayo kita berhenti," ucap Jennie menatap ketiga sahabatnya.

Setelah mendengar apa yang sebenarnya mereka hadapi, setiap detiknya Jennie selalu dihantui oleh rasa takut. Mereka bahkan tampak hanya seperti seekor semut tak berdaya jika dibandingkan dengan So Jisub dan orang yang mendukungnya dari belakang.

"Hm. Aku setuju dengan Jennie. Ayo kita sudahi pekerjaan ini." Mendengar ucapan Jisoo, Lalice terkekeh. Namun detik berikutnya, raut wajah Lalice berubah menjadi amat datar. Bahkan mereka bisa merasakan hawa dingin yang mulai tercipta disana.

"Bukankah awalnya kau yang memaksaku untuk masuk ke dalam sini?" tanya Lalice tajam, menatap Jisoo dengan mata memerah.

Bibir Jisoo kelu. Dia ingat betapa kerasnya dulu memaksa Lalice untuk bergabung menjadi anggota NIS. Bayangan Jisoo saat itu, tentu tak sejauh apa yang mereka lakukan saat ini.

"Lalice, mereka benar. Kita harus berhenti. Ini terlalu berbahaya. Yang kita hadapi bukan hanya seorang Mafia jahat. Tapi---"

"Bagaimana dengan orang tuamu? Bagaimana dengan orang tua kalian? Apa kalian tak mau orang tua kalian terbebas dari bayang-bayang hitam So Jisub?" tanya Lalice dengan tangan mengepal.

Semuanya tampak menunduk. Sebelum akhirnya, Jisoo menatap Lalice dengan sendu. Jujur saja, dia memang ingin mengetahui akar masalah keluarganya dengan So Jisub. Juga ingin menghentikan aksi-aksi gila So Jisub yang selalu membahayakan keluarganya.

Tapi dia sadar, mereka terlalu lemah. Dan So Jisub terlalu kuat untuk mereka kalahkan. Sampai sekarang saja, mereka belum bisa mendapatkan bukti apa pun untuk melemahkan So Jisub. Tak ada jalan, dan Jisoo sudah menyerah.

"Lili-ya..." Gadis itu meraih tangan Lisa.

"Aku pikir, kita sudah berjalan terlalu jauh. Kita... Harus berhenti dan kembali. Aku tidak bisa melihat salah dati satu kalian terluka. Aku sungguh takut," ungkap Jisoo merintih. Diam-diam melirik tangan Lisa yang masih diperban karena sempat terluka saat menyelamatkan Kim Junmyeon tempo hari.

Melihat luka itu, Jisoo semakin sadar. Mereka sedang dalam bahaya. Dan satu-satunya jalan adalah pulang dan bersembunyi. Walau tampak sebagai pengecut, Jisoo tak peduli. Dia hanya tak ingin kehilangan adik-adiknya.

"Geure," lirih Lalice mendapat respon berupa senyum cerah dari ketiganya.

Memejamkan mata sesaat, lalu dengan sekali sentakan dia melepaskan tangan Jisoo darinya. Berjalan mundur dengan menatap ketiganya tajam.

"Aku tak akan menghalangi kalian untuk berhenti. Tapi... Jangan paksa aku untuk berhenti. Aku sudah memulai, maka aku harus mengakhiri."

Senyum ketiganya berlahan hilang, terlebih saat Lalice membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar. Ingin menarik knop pintu itu, namun suara keras Jennie menghentikannya.

"Memang apa yang bisa kau lakukan sebagai anak berusia 18 tahun? Kau... Tidak bisa melakukan apa pun untuk keluarga kami, Lili-ya."

Lalice meremas knop pintu itu dengan amarah yang mendadak muncul. Menahan diri untuk tidak mengeluarkannya dengan menghembuskan napas pelan.

"Kita akan lihat. Aku bisa apa," jawab Lalice, lalu benar-benar keluar dari toilet itu.

.........

Lelaki itu turun dari bus dan menyebrang untuk menuju sebuah mini market. Senyumnya perlahan muncul saat melihat sebuah tempat duduk di depan jendela yang saat ini kosong.

Bitter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang