Dentuman musik yang benar-benar memekan telinga itu sungguh membuat Lalice tak nyaman. Selain itu, lampu-lampu yang berkelap-kelip mampu membuat kepalanya pusing. Seketika merasa menyesal karena sempat menerima ajakan Seulgi untuk pergi kesana.
"Kau tak nyaman ya? Kita akan keluar sebentar lagi, eoh?" Lalice hanya bisa mengangguk terpaksa menanggapi ucapan Seulgi.
Beberapa jam yang lalu, mereka bertemu di depan mini market yang Lalice gunakan untuk membuat laporan. Karena sudah lama tak bertemu, Lalice dan Seulgi memutuskan untuk berjalan mengelilingi sekitar. Sekedar untuk mengobrol hal ringan sebelum Paman Seulgi menelpon. Menyuruh Seulgi untuk menemuinya sebentar di sebuah Bar yang memang adalah milik Paman gadis itu.
"Tunggu disini, eoh? Aku tak akan lama."
"Unnie, chakkaman." Lisa meraih lengan Seulgi. Lalu setelah membuat gadis itu menghentikan langkahnya, Lalice segera melepas mantelnya. Menyisakan kaos kebesarannya.
"Pakailah mantel ini. Bajumu mengundang pandangan banyak manusia disini."
Seulgi menelan salivanya susah payah karena tak menyadari pakaiannya yang cukup terbuka saat mendatangi Bar ini. Dia segera meraih mantel yang Lalice sodorkan, lalu memakainya dan kembali melangkah.
Sepeninggalan Seulgi, Lalice hanya berdiri dengan wajah tak nyaman. Seharusnya dia pulang saja saat Seulgi ingin pergi kemari. Karena sebenarnya umur Lalice belum legal untuk memasuki tempat dewasa itu.
Apalagi ketika matanya menangkap sebuah pemandangan yang tak seharusnya dia lihat. Di pojok ruangan, sepasang kekasih tampak bercumbu mesra. Yang benar-benar membuat mata Lalice terasa sakit melihatnya.
Akhirnya gadis itu berbalik badan. Hendak melangkah namun tiba-tiba seorang lelaki yang mabuk tak sengaja mendorongnya. Membuat Lalice menabrak seseorang yang melangkah di dekatnya.
"Joesonghamnida," Lalice merasa begitu bersalah. Dan ketika melihat dompet lelaki itu jatuh, Lalice segera meraihnya dan menyerahkannya pada si empunya.
Namun bukannya menerima dompetnya kembali, lelaki itu justru menyentuh lengannya. Meraba bekas luka yang melekat pada Lalice sedari bayi. Tapi karena Lalice merasa tak nyaman, dia segera memundurkan langkahnya. Membuat lelaki itu tersadar atas perlakuannya yang kurang pantas.
"Ah, maaf. Aku hanya takjub dengan lukamu." Ujar lelaki itu tersenyum kecil. Tapi anehnya, Lalice bisa melihat sorot aneh di mata lelaki itu.
"Ini dompetmu, Paman." Lisa kembali menyosorkan dompet lelaki itu, yang kali ini langsung diterima.
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, lelaki itu pergi meninggalkan Lalice. Hingga digantikan oleh keberadaan Seulgi yang menampakkan wajah tak nyaman seperti milik Lalice tadi.
"Ayo pergi dari sini. Tatapan mereka sangat mengerikan." Seulgi bergidik ngeri sembari menarik tangan Lalice untuk keluar dari sana. Merutuki Pamannya yang memiliki bisnis seperti ini.
"Kenapa cepat sekali, Unnie?" tanya Lalice setelah mereka benar-bemar keluar dari gedung itu.
"Pamanku hanya ingin meminjam uang padaku. Benar-benar mengesalkan. Hobinya hanya berjudi dan sekarang harus terlilit hutang." Mendengar gerutuan Seulgi, Lalice hanya bisa terkekeh.
Setelah merasa tak ada yang memandangnya nakal lagi, Seulgi melepaskan mantel Lalice dan mengembalikannya. Namun matanya tak sengaja melihat bekas luka yang cukup besar. Seulgi bahkan sampai merinding melihatnya.
"Eoh, tanganmu---"
"Unnie, sepertinya aku harus pulang sekarang. Kau bisa menghubungiku di nomor yang kuberikan tadi. Sampai jumpa akhir pekan,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter ✔
FanfictionSebuah kepahitan akan terasa manis dipandangan orang lain. Itulah hidup, setiap orang tidak akan bisa memandang kehidupan secara sama. Menilai adalah keahlian, namun meneliti adalah suatu keseganan untuk mereka. Kim Jisoo, Kim Jennie, Rosé Park, dan...