Lisa memasuki kamarnya dengan perasaan kesal. Dia merasa sudah dibodohi oleh anak orang kaya itu. Karena Lisa kira dia akan diculik malam kemarin, tapi nyatanya itu adalah anak buah orangtua Jennie yang ingin membawanya pulang.
Hendak meraih permen susunya di atas meja nakas, Lisa terkejut melihat sebuah kalung yang tak pernah dia lihat beberapa tahun terakhir. Dia kehilangan kalung itu dan sekarang dia tampak bahagia karena melihatnya kembali.
"Apakah gadis itu yang menemukannya?" gumam Lalice sembari memperhatikan sekitarnya yang kini tampak lebih bersih dan rapih.
Mendadak, ada rasa tak nyaman menghampiri hati Lalice. Dia menjadi khawatir pada Jennie dan merasa sudah keterlaluan karena telah berbuat kasar. Lalice jadi merutuki emosinya yang terkadang tak terkontrol.
Alhasil, dia memilih meraih kembali jaketnya dan keluar dari apartemen itu. Mendesah frustasi karena tak mendapati Jennie ada di sekitar apartemennya lagi. Dan Lalice memutuskan untik berkeliling mencari keberadaan gadis berambut cokelat itu.
Ini masih sore, namun udara dingin sudah menyebar. Karena musim gugur yang baru saja datang, membuat cuaca tak sebaik musim sebelumnya. Dan Lalice sangat benci rasa dingin. Dia merasa hawa dingin mampu membekukan seluruh tubuhnya. Walaupun sebenarnya Lalice hanya berlebihan.
"Andwe! Lepas!"
Lalice cepat-cepat bersembunyi di balik pohon besar yang terletak di pinggir jalan saat mendengar teriakan seseorang. Menyipitkan mata untuk lebih jelas melihat apa yang terjadi di depan sana.
Itu Jennie. Yang hampir setengah jam Lalice cari. Dengan keadaan sama saat Lalice pertama kali melihatnya. Berteriak kencang dan diseret oleh beberapa pria berbadan besar.
"Aku tidak mengenal kalian, jadi lepaskan aku!"
Dahi Lalice mengerut. Jadi asumsinya mengenai orang-orang berbadan besar itu salah? Ternyata mereka bukan orang suruhan orangtua Jennie seperti dugaannya. Dan Lalice semakin merasa menyesal karena telah tega mengusir Jennie begitu saja dari tempat tinggalnya.
Dengan gusar, Lalice meraih ponsel di saku celananya. Mencari sesuatu di dalam ponsel canggih itu dan menyalakannya. Tak lama, sebuah sirine polisi terdengar membuat dua orang yang menarik Jennie secara spontan melepaskan lengan gadis itu.
Lalice tak mau membuang waktunya lebih lama. Dia berlari sekuat tenaga menghampiri Jennie dan menarik tangan gadis itu untuk ikut berlari bersamanya menjauhi orang-orang berbadan besar yang baru saja terkejut.
"Hey!"
Lalice menyempatkan diri untuk menoleh ke belakang. Dan mendesis kesal karena keempat orang berbaju hitam itu ikut berlari. Bahkan tampaknya langkah mereka lebih cepat dibandingkan Lalice dan Jennie.
Tak mau perjuangannya sia-sia, Lalice mulai memutar otaknya. Sekejab berbelok dan bersembunyi di belakang kotak sampah besar disana. Beruntung karena keempat pria itu tak melihatnya dan berlalu begitu saja. Mengira Jennie dan Lalice masih berlari.
"Aku ingin mati rasanya." Keluh Jennie dengan napas yang memburu. Dia sangat lelah karena berlari terlalu kencang dan berusaha menyamakan langkah Lalice yang lebar.
"Mereka siapa? Kenapa terus mengincarmu?" dengan tangan mulai merogoh salah satu saku jaketnya, Lalice bertanya.
"Sepertinya suruhan pesaing bisnis ayahku." Jawab Jennie seadanya. Karena saat ini dia benar-benar hampir kehabisan napas. Berbanding terbalik dengan Lalice yang santai saja sembari memasukkan sebuah permen susu ke dalam mulutnya.
"Bukankah kau akan lebih aman jika di rumah? Kenapa kabur?"
Jennie termenung mendengar pertanyaan Lalice kali ini. Dia mendadak rindu dengan orangtua serta kakaknya. Tapi di lain sisi, Jennie tak ingin kembali ke rumah dan mendekam di sangkar emas lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter ✔
أدب الهواةSebuah kepahitan akan terasa manis dipandangan orang lain. Itulah hidup, setiap orang tidak akan bisa memandang kehidupan secara sama. Menilai adalah keahlian, namun meneliti adalah suatu keseganan untuk mereka. Kim Jisoo, Kim Jennie, Rosé Park, dan...