Bitter : 9. Hold

10.4K 1.6K 246
                                    

"Ya! Aku seperti baru saja melakukan kerja paksa!"

"Tulangku rasanya patah semua!"

Lalice dan Jisoo hanya bisa saling pandang melihat kepulangan Jennie dan Rosé. Ini baru sehari, tapi mereka sudah memenuhi setiap sudut apertemen kumuh itu dengan keluhan. Dan malam nanti, Lalice harap Jisoo tak akan melakukan hal yang sama. Karena pasti dia akan pusing mendengarnya.

"Mandi dan makanlah. Lalice membelikan kalian ayam goreng," Jisoo menunjuk kantong plastik berisi dua kotak ayam goreng.

"Ayam goreng? Tumben kau tidak menghabiskannya, Unnie?" Jennie bermaksud menyindir Jisoo. Karena biasanya saat mereka membeli ayam goreng, Jisoo bahkan akan merebut milik Jennie dan tak menyisakannya sama sekali.

"Dia sudah menghabiskan lima porsi." Beritahu Lalice dengan lesu. Mengingat jika dompetnya kini hanya tersisa beberapa lembar Won karena ulah Jisoo siang tadi.

"Kau seharusnya tak membawa Jisoo Unnie kesana. Dia bahkan bisa menghabiskan stok ayam restaurant itu." Jennie menepuk pundak Lalice. Merasa prihatin dengan keadaan dompet gadis berambut ash grey itu.

"Kau seharusnya bersyukur, Lalice. Aku masih memikirkan kondisi uangmu." Sahut Jisoo dengan wajah bangga, yang ingin sekali Lalice melemparnya dengan dompet yang saat ini hampir kosong.

Lalice memilih diam dan membuka satu bungkus permennya. Menyahuti ucapan Jisoo malah akan membuat emosinya memuncak. Dia bahkan heran dengan dirinya sendiri saat ini. Padahal, Lalice dapat dengan mudah melawan Jisoo yang selalu semena-mena padanya. Tapi dia tak pernah tega. Entah apa sebabnya.

"Lalice. Kau mendapatkan nama itu dari mana?" tanya Jennie sembari duduk di samping Lalice. Memandang kalung yang masih di pakai gadis itu.

Nyatanya disana bukan nama Lalice yang tertera. Namun nama lain yang lebih mudah untuk di panggil. Sampai saat ini, Jennie belum mengetahui apa pun tentang Lalice selain dari cerita Rosé.

Dia hanya tahu jika Lalice adalah anak yang besar di panti asuhan. Mendapatkan hinaan di masa sekolah, lalu dihianati oleh sahabatnya sendiri. Selain itu, Jennie tak tahu apa pun karena Lalice adalah orang yang tertutup.

"Panti asuhan tempat ku tinggal adalah milik orang luar negeri. Jadi aku mendapatkan nama ini," jelas Lalice membuat ketiga gadis lainnya mengangguk.

"Tapi kau memiliki kalung dengan identitas nama. Apakah kalung itu diberikan setelah kau mendapatkan nama Lalice?" tanya Jennie penasaran. Jika Lalice ditemukan bersama kalung itu, pasti pihak panti asuhan akan menamainya dengan nama yang ada di kalung itu.

"Pengurus panti bilang, kalung ini sudah ada sejak aku ditemukan di gerbang panti asuhan. Hanya saja saat itu pemilik panti sangat menyukaiku. Dia menghadiahkanku nama Lalice Arckley. Dan menurutku nama ini sangat keren. Bahkan yang terbaik di panti asuhan itu dulu." Cerita Lalice dengan wajah bangga. Dia memang sangat senang memiliki nama yang indah seperti itu. Walaupun kenyataannya, nasib Lalice sangat berbanding terbalik dengan namanya yang indah.

"Tapi menurutku, Lili juga bagus. Bagaimana jika kami memanggilmu dengan nama Lili? Bukankah lebih mudah disebut dibandingkan Lalice?" usul Jennie mendapatkan anggukan setuju dari Rosé dan Jisoo. Karena nyatanya mereka memang agak kesulitan menyebut nama Lalice yang terdengar seperti orang asing.

"Terserah saja."

.......

Tiga puluh menit lagi, adalah pukul tujuh malam. Lalice kini sedang duduk di sofa ruang tamu untuk menunggu Jisoo yang sedang bersiap. Menikmati permen susunya yang entah kenapa selalu nikmat di mulutnya.

Bitter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang