59. Terbongkar semua

36 1 0
                                    

Di dalam kamarnya yang remang-remang, Devano duduk sendirian, tenggelam dalam lamunannya. Suasana sepi terasa menekan, hanya dentingan jam dinding yang teratur menghiasi keheningan. Dinding kamar yang dibiarkan tanpa hiasan tampak membiru dalam cahaya lampu yang samar, menambah kesan dingin dan kesepian.

Pintu kamar perlahan terbuka, dan Jovano muncul di ambang pintu. Ia membawa sebuah botol sampanye yang berkilau dalam gelap, bagaikan harapan terakhir di tengah kegelapan malam. Jovano merasakan ketegangan yang menyesakkan dadanya saat ia melangkah masuk, setiap langkahnya terasa berat.

Devano tidak mengangkat kepalanya, hanya menatap kosong ke arah lantai, seolah-olah segala sesuatu di sekelilingnya tidak lebih dari sebuah bayangan. Jovano menghampirinya dengan hati berdebar, lalu meletakkan botol sampanye di meja kecil di samping tempat duduk Devano. Suara kaca yang ringan berbenturan dengan permukaan meja memecahkan kesunyian yang membekap.

"Kau mau minum?" tawar Jovano dengan nada yang dipenuhi harapan dan sedikit cemas. Ia tahu betul betapa keras kepalanya Devano, dan tawaran ini mungkin satu-satunya cara untuk meredakan ketegangan yang menghambat mereka.

Devano menggelengkan kepala dengan lembut.

Jovano mengangguk kecil dan kemudian menyesap sampanyenya perlahan. "Aku minta maaf," ucapnya dengan suara yang penuh penyesalan.

Devano hanya menatapnya, tanpa berniat untuk menjawab. Sebuah keheningan tegang menggantungi mereka.

"Aku minta maaf atas segalanya, atas kejadian dengan orang tua kita, dan kecelakaan waktu itu," lanjut Jovano dengan nada rendah yang hampir menyiratkan kebangkrutan emosional. Setiap kalimat yang diucapkannya seolah-olah merupakan bagian dari permohonan yang tak dapat diulang kembali. Suara Jovano bergetar lembut, seolah ia mencoba merajut kembali jalinan yang pernah hancur.

Devano hanya mengangguk, menunjukkan bahwa dia mengerti, meskipun memori masa lalu itu tidak lagi ada dalam ingatannya.

"Percuma saja," ucap Devano dengan nada hampa. "Aku tidak akan mengingat kejadian dulu."

"Devano, kau bisa memulai hidup barumu di sini. Aku berjanji tidak akan ada hal buruk," ucap Jovano dengan tulus, mencoba meyakinkan saudaranya bahwa masa depan mereka bisa berbeda.

Namun, Devano hanya menundukkan kepalanya, sebuah gerakan yang penuh dengan beban emosional. Wajahnya menunjukkan perasaan yang begitu mendalam—sebuah campuran dari kebingungan, kesedihan, dan rasa sakit yang tak tertanggungkan. "Semuanya terasa sangat sakit. Mengapa Jinhyuk harus menyelamatkanku saat itu? Mengapa aku harus hidup kembali?" Suaranya bergetar, penuh dengan keputusasaan dan kebingungan yang terlalu dalam untuk sepenuhnya dipahami.

Jovano hanya diam, tak sanggup menjawab. Ekspresinya juga mencerminkan kejutan dan duka yang mendalam. Mereka berdua terpaku dalam keheningan, merenungkan takdir yang telah memisahkan dan mempertemukan mereka dalam lingkaran peristiwa yang tak terduga ini.

Devano kembali berbicara, suaranya rendah namun penuh dengan keputusan yang sulit. "Mereka merencanakan untuk membunuhmu. Awalnya aku setuju karena aku ingin semuanya setimpal, tetapi ketika aku melihat Grace dan calon anakmu, rasanya aku tidak tega."

Jovano mendengarkan dengan hati yang berat, mencerna kata-kata saudaranya dengan penuh perasaan campur aduk. Ini adalah pengakuan yang mengungkapkan pertarungan batin yang dalam dalam diri Devano, antara rasa ingin adil dan kepedulian terhadap orang-orang yang tidak bersalah.

Jovano menatap Devano dengan mata penuh dengan rasa terima kasih dan kesedihan. "Terima kasih sudah peduli padaku dan calon anakku," katanya dengan suara yang terengah-engah. "Terima kasih sudah bersama mereka saat aku pergi kemarin, Devano. Kamu selamanya akan tetap menjadi saudaraku. Terima kasih sudah kembali."

mr. dangerous (FULL REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang