BAGIAN 20

110 23 4
                                    

Kondisi mansion benar-benar kacau, sangat memprihatinkan untuk ditengok.

Decihan samar keluar dari belah bibir Kevin yang baru saja memijakkan kaki di area kekuasaan Shizuragi itu. Sial, Kevin harus rela mengotori pandangan matanya ketika diedarkan dan menjumpai ringseknya keadaan bangunan yang telah menaungi hampir sebagian besar usianya itu. Entah seberapa banyak hal yang telah ia lewati selama pelatihan, tapi tentu saja ini bukan sesuatu yang wajar.

Di belakangnya, terdapat William yang bergerak menghampiri meski masih mengatur napas setelah bertindak sangat cekatan dalam meruntuhkan barikade yang tersebar di sekeliling bangunan. Sama terkejutnya seperti Kevin, pria berparas rupawan itu bahkan sampai tidak berkedip selama sekian sekon seusai memastikan bahwa yang ada di hadapannya ini benar-benar mansion Shizuragi. Kacau, hampir tidak berbentuk.

"Mana Alice?" tanya William pada diri sendiri, seraya mengedarkan jangkauan pandangnya mencari sosok yang disebutkan barusan.

Tak lama, terdapat samar-samar suara batuk yang melintasi telinga kedua pemuda itu, sementara muasalnya masih belum bisa teridentifikasi. Membuat Kevin maupun William sama-sama bersikap siaga dan lantas menajamkan pendengaran.

"Aku di sini!" pekik suara yang sangat tidak asing, hanya saja terdengar lebih lirih dan parau. "Di bawah sini!"

Kevin bergerak lebih maju dengan William yang mengekori di belakang. Pemuda bersurai hitam legam itu dengan tangkas mendekat menghampiri sumber suara yang rupanya berasal dari timbunan patahan-patahan kayu. Menyingkirkan puing-puingnya secepat yang ia bisa demi mengeluarkan tubuh penuh luka serta darah milik sang petinggi, kemudian berupaya memosisikan kepala Alice agar dapat bersandar pada bahunya.

"Akhirnya," desah Alice setelah dapat bernapas bebas, menghirup oksigen banyak-banyak seusai pasokannya dikuras. "Siapa lagi yang bersama kalian?"

Kevin meringis tak tega melihat keadaan Alice, dan William mengambil alih menjawab. "Semua anggota yang mendapat pelatihan ikut kemari. Namun kusuruh mereka berjaga di luar saja setelah kami mendapati terpasangnya barikade pemblokiran sepanjang garis batas wilayah."

Alice mengangguk dengan mata sayu, serta hela napas yang mulai teratur. "Roseanne gugur. Maaf, aku tidak bisa mencegah kematiannya."

Napas William tertahan begitu kalimat dari mulut Alice dapat keluar dengan lancar. Bahkan Kevin masih terdiam, berusaha mencerna apa yang barusan ia dengar. Yang tadi itu, apa benar?

"A–apa?"

"Roseanne gugur. Mayatnya berhasil dibawa oleh mereka."

***

Riuh bergaung tepukan tangan menggema di dalam ruangan seluas enam kali sembilan meter, diikuti tarikan seulas senyum bangga penuh sarat kemenangan dari sang sumber suara tepuk tangan barusan. Detik berikutnya, ia bangkit dari posisi duduknya, lantas mengangkat kaki demi menemui si subjek lawan bicara dengan lebih intens. Senyumnya masih tetap terulas apik, tidak sedikitpun luntur dari kontur wajah meski tidak kunjung dapat balasan.

"Good job, Hillary. Ini bahkan diluar ekspektasiku."

Yang baru saja dipuji tidak menunjukkan reaksi apapun. Sepasang maniknya menatap tajam pemuda yang sudah kembali duduk di hadapan meja kebanggaannya, menikmati hasil kerja Hillary yang ia dapatkan cuma-cuma. Gadis dengan pesona tiada banding itu menggeram tertahan, setelahnya memasang sikap menantang serta mengajukan protes secara tersirat, mulai mengangkat dagu angkuh sampai sang lawan bicara mengernyit bingung.

"Mana imbalanku?" tagih si gadis Sukito dengan sebelah alis terangkat. "Katamu, kalau aku sukses menjalankan tugasku dengan baik, aku akan dapat imbalan. Mana yang kau janjikan, Mario?"

Yamamura Mario, sang lelaki yang sebenarnya memegang kuasa penuh atas Hillary, kini terpantau tengah menyunggingkan senyum lebar tersirat godaan. Dagunya ikut terangkat angkuh menyamai si gadis, begitupun serupa dengan sebelah alisnya. Mimik wajah yang ditunjukkan Mario memberi kesan menantang balik—sampai Hillary merasakan adanya keinginan mencakar muka lawan bicara yang membuat ia merasa direndahkan.

"Memangnya apa yang kau inginkan?" tanya Mario, sesekali menaik-turunkan garis alisnya. "Apakah uang dan mobil yang kuberikan belum cukup untuk bayaranmu?"

Hillary berdecak, dwinetranya memicing marah bercampur kecewa. "Hanya itu? Aku tidak butuh harta! Aku hanya butuh dia, aku butuh Arthur!" pekiknya histeris sebelum vas di atas meja berakhir pecah setelah ia membantingnya kuat-kuat. "Sekali lagi kutanya padamu, Mario. Dimana ... imbalanku?"

Mario tergelak, sikap tubuhnya melunak dan tampak lebih santai dibanding si gadis. "Kau itu ... memang bodohkah? Kau ini pura-pura tidak tahu, atau justru ... sungguhan tidak tahu kalau aku hanya memanfaatkanmu?"

Dua detik total dibutuhkan Hillary untuk mencerna maklumat yang baru ia serap. Sepasang kelopak matanya berkedip cepat, diikuti dengan rona merah padam yang lekas menjalar memenuhi wajah sampai garis belakang telinga. Hillary marah, Hillary malu. Merasa bodoh sangat, terlebih begitu mengingat setiap keluaran upaya yang ia kerahkan berakhir sia-sia, bahkan tanpa satupun keuntungan yang berhasil ia raih.

"Kau!?" bentak Hillary yang sebetulnya sudah tidak sanggup mengutarakan kekecewaannya. "Atas dasar apa—"

"Well, kalau ada yang bisa dimanfaatkan, kenapa tidak aku pakai?"

Hillary mendesis. "Dasar bajingan."

Perempuan berusia awal dua puluh tahunan itu menarik napas dalam-dalam dengan sepasang kelopak mata sengaja dipejamkan, mencoba meredam emosi yang berontak dalam dirinya. Kedua telapak tangan seputih susu miliknya terkepal erat, bahkan Hillary bisa pastikan kukunya dapat menggores kulit kalau saja kepalannya ditekan lebih keras sedikit lagi. Sewaktu matanya terbuka kembali, terpampang nyata sorot penuh dendam yang dilayangkan untuk Mario seorang.

"Dengar, Mario," ujarnya dengan suara tercekat, sengaja ditekan mati-matian agar tidak kelepasan menghancurkan barang lagi seperti beberapa waktu lepas. "Aku masuk ke dalam 'kandang macan', mempertaruhkan nyawa selama berada di sana, bertahan dalam rasa takut. Kau pikir, aku rela melakukan semua itu untuk apa? Kau pikir, aku mau mematuhi semua perintahmu itu untuk apa? Aku tidak melakukan itu semua dengan cuma-cuma!"

Mario terkekeh pelan sebelum pria itu mengembuskan helaan napas panjang. "Oh, ya? Pengorbananmu besar sekali kalau begitu. Tapi sayangnya, aku sama sekali tidak peduli mau bagaimanapun sulitnya kau menjalani semua kemauanku. Lagipula, sejak awal tujuanku bukanlah membantu dirimu mendapatkan hati Arthur lagi, aku hanya ingin memberi peringatan kepada si brengsek itu karena telah membunuh Nathalie."

"Kau!?" Hillary kembali menaikkan intonasi bicaranya, nyaris sangat kehilangan kendali kalau saja tidak ingat niat awalnya membuka suara. "Kalau itu yang kau mau, silakan."

Mario diam, menunggu apa yang akan dilontarkan Hillary sebab ia merasa kalimat yang diucapkan si gadis barusan belum rampung. Hillary menarik napas dalam lagi, mengendalikan diri meski kadung terselimut emosi. Mengulang tempo pengaturan beberapa kali lebih banyak, sampai sekiranya suara yang ia keluarkan lebih mantap.

"Silakan saja kau mau berbuat seperti apa. Asalkan, jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi padamu. Atau bahkan ... semua yang berurusan denganmu."

-Something Unexpected-

Catatan Moy: hai! Hehe, aku update lagi❤

Something Unexpected ; AsaRyu [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang