Gugurnya Roseanne menjadi duka mendalam bagi seluruh awak klan. Tiga hari setelah perseteruan, mayatnya telah berhasil ditemukan di hutan dengan radius dua puluh lima kilometer dari mansion setelah mengerahkan beberapa agen, dalam keadaan sudah sulit diidentifikasi. Wajahnya hancur, badannya penuh luka yang telanjur membusuk serta patah tulang di beberapa bagian.
Semburat pilu tak luput dari wajah Arthur si pemuda angkuh Shizuragi, yang pagi ini menjadi sangat murung dalam sesi upacara pemakaman Roseanne secara layak. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya, atau sekadar air mata kesedihan yang terpancar. Arthur tetap bungkam, semua yang ada pada dirinya terlihat tidak memiliki emosi, lengkap disertai tatapan mata kosong tanpa gairah.
Di antara para anggota lainnya, hubungan 'kekeluargaan' yang terjalin antara Arthur dan Roseanne memang yang paling dekat. Sosok petinggi itu sudah dianggap sebagai ibu untuk Arthur, sebab yang selalu benar-benar memastikan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja hanya Roseanne. Maka sudah bukan rahasia umum apabila Arthur menjadi individu yang paling terpukul akan kematian sang petinggi klan.
Dan hal itu, sama sekali tidak luput dari pengawasan mata Joanne yang sedari tadi belum melakukan apa-apa lantaran takut salah ambil langkah. Dalam kondisi rapuh dan tidak stabil, bisa saja Arthur justru meledak-ledak lebih dari biasanya, yang mana hanya akan menimbulkan reaksi negatif. Awalnya, Joanne tidak mau ambil pusing mengenai perubahan si pemuda Shizuragi. Namun, melihat keadaan Arthur sekarang yang sudah seperti kehilangan penopang, tidak urung sukses menggerakkan empatinya.
Dengan langkah tergesa, ia membuka pintu balkon yang sudah agak rusak akibat dari penyerangan tempo hari. Lantas, menampilkan presensi Joanne yang akhirnya memutuskan menghampiri sang ketua tim. Arthur yang kala itu tengah duduk bersandar pada bahu kursi panjang di balkon lantai tiga tidak menunjukkan adanya reaksi. Pemuda bersurai light blonde tersebut masih bungkam, enggan membuka mulut sampai Joanne memilih berjalan mendekat. Tidak banyak tanggapan yang dilakukan si pemuda, hanya melirik sekilas sebagai bentuk validasi dari eksistensi sang pemudi, namun kemudian kembali memalingkan pandangan.
"Arthur." panggilnya pelan.
Joanne menghela napas perlahan, dirinya tidak mau banyak bicara dan langsung saja lekas mengambil tempat duduk di sebelah Arthur. Gadis itu lalu menoleh ke samping kanan, tempat dimana Arthur telah menyamankan diri dalam posisinya, tidak melakukan pergerakan lain sama sekali selain bernapas. Lelaki Shizuragi itu masih minim ekspresi, tidak banyak perubahan signifikan yang terjadi. Setidaknya, itu yang ia tunjukkan pada ruang publik, tidak ada yang tahu bagaimana isi hati serta pikirannya yang bisa saja begitu semrawut.
"Hei ...," celetuk Joanne, namun masih belum mendapat atensi dari si lawan bicara. Tidak lantas menyerah, Joanne kembali membuka suara. "Mau menceritakan sesuatu? Barang kali kau sedang butuh didengar?"
Arthur menoleh, lekas mendengus. "Tidak."
"Kalau begitu, apa kau butuh pelukan?" tanya Joanne sekali lagi, kali ini sepenuhnya menyamping menghadap Arthur. "Orang bilang, pelukan disaat sedih itu perlu."
Sekali lagi, Arthur mendengus. "Omong kosong."
Joanne tidak menjawab. Namun sebagai gantinya, ia merentangkan sebelah lengannya ke belakang punggung Arthur, menyangga di atas sandaran sofa. Lantas menarik bahu milik si pemuda agar mendekat ke arahnya.
"Apa-apaan kau—"
"Diamlah." sela Joanne sebelum Arthur usai merampungkan protesannya. "Jangan berlagak sok kuat saat dirimu sedang tidak baik-baik saja."
Arthur tetap diam, meski begitu dirinya sudah tidak memberontak. Namun, tidak ada tanda-tanda akan membalas pelukan sukarela dari si gadis. Arthur tidak lagi menjadi pihak aktif, lantas Joanne kembali mengambil alih inisiatif. Joanne tidak mempermasalahkan, karena menurutnya, selama itu ada kaitan dengan Arthur maka tidak jadi masalah.
"Kau terluka, kau tidak baik-baik saja." Joanne berujar lagi tanpa mengharap bentuk responsif dari sang lawan bicara yang kelewat pasif. "Mulutmu bisa berkilah, tapi sorot matamu menjelaskan semuanya."
Merasa tidak ada tanggapan verbal, Joanne mengeratkan rangkulannya kepada Arthur untuk kemudian melanjutkan kalimatnya dengan lebih leluasa. "Kenapa harus terus berbohong pada dirimu sendiri? Kenapa kau tidak mau mencoba meringankan bebanmu sendiri?"
Arthur mengernyit, sedikit menegakkan tubuhnya kala ia menangkap kalimat yang baru terucap dari belah bibir si nona terdengar begitu rancu untuk dicerna. "Maksudmu?"
"Jujurlah pada perasaanmu, Arthur. Sepele, tapi sulit sekali kau lakukan." jawab Joanne seperti enggan menjelaskan lebih rinci. "Aku tahu kau sedih. Jangan dipendam, menangis tidak akan membuatmu terlihat lemah."
Joanne mengalihkan pandangan, enggan pula membalas tatap si tuan yang seakan bertanya-tanya. Gadis itu tersenyum simpul dengan arah pandang lurus ke depan, masih menampilkan senyum paling menawan dari yang sebelumnya pernah dilihat Arthur. Atau hanya Arthur yang tidak memperhatikan baik-baik padahal sebenarnya memang tidak ada yang berubah?
"Pasti sulit, 'kan, memikul begitu banyak tanggung jawab sendirian? Terlebih lagi, Madam Roseanne yang selama ini menjadi sandaranmu kini sudah lebih dulu berpulang. Belum ada orang yang bisa mengetuk hatimu untuk memberikan kepercayaanmu selain beliau, bukan?" tutur Joanne sambil sesekali mengusap bahu tegap sang pemuda yang kini tengah merosot, kehilangan tumpuannya.
"Bagaimana kau tahu? Aku tidak pernah merasa menceritakan apapun tentang hubungan akrabku dengan Madam kepada siapapun?" tanya Arthur.
Joanne menyahut singkat, "Bukan hal sulit." pungkasnya singkat, lalu menatap Arthur lekat. "Jangan alihkan topik. Kutanya padamu, kau butuh seseorang? Datang saja padaku, tidak dipungut biaya."
***
"Franklin Shin ..., Rebecca Shin ...."
Carrie menelisik data-data yang baru saja ia peroleh dari Kate, menampilkan sejumlah profil mengenai maklumat banyak orang-orang penting. Termasuk kedua nama yang baru saja disebutkan, sedikit banyak menyebabkan gadis awal dua puluhan itu nyaris berteriak saking frustrasinya. Belah bibir tipisnya berkedut seiring sepasang maniknya bergerak menelusuri monitor dengan pola acak.
"Shin." ujarnya dengan volume suara setingkat setara bisikan. "Marga itu tidak asing. Kate!?"
Kate yang merasa namanya diserukan, menoleh. Mendapati raut kebingungan dari rekan se-organisasinya yang masih tidak mau melepas pandangan dari layar. Mau tak mau, Kate berjalan mendekat, ikut menaruh atensi pada objek yang menjadi konsentrasi Carrie.
"Ada apa kau sampai teriak begitu?" tanya Kate dengan sebelah tangan menopang di meja, sedikit mencondongkan tubuhnya agar dapat melihat jelas.
Carrie menunjuk layar monitor. "Shin. Franklin dan Rebecca Shin. Itu nama buronan akhir-akhir ini, 'kan?"
Meski masih tidak mengerti, Kate mengangguk patah-patah. "I ... ya? Lalu?"
"Marga Joanne juga Shin, 'kan?" cetusnya lagi.
"Jangan bilang kalau ...."
Keduanya saling bertatapan, melempar pertanyaan tersirat lewat sorot mata masing-masing. Carrie lebih dulu memotong utas kontak mata, memilih kembali menerjunkan fokusnya pada layar di hadapannya. Kate yang mulai memahami titik permasalahan memutuskan diam memperhatikan, bersedekap dada di belakang duduk Carrie dengan mata yang tidak lepas mengawasi.
"Apa kita harus hubungi Steven? Agaknya dia lebih berpengalaman dalam melacak sesuatu." usul Kate setelah sekian detik suasana hening menyambangi. "Kurasa John juga bisa menjadi back up. Sisanya, ada saran?"
Carrie menoleh sekilas. "Tim Steven plus Arthur sepertinya sudah cukup mumpuni untuk mengemban tugas ini."
-Something Unexpected-
Catatan Moy: alohaaaa! Yok diisi kolom komentarnya, kira-kira tulisanku kurang apa aja. Feel free untuk menuangkan kritik, jangan sungkan ya! Terima kasih, have a nice day semuanya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Unexpected ; AsaRyu [On Going]
AksiPerihal sesuatu yang sering digaungkan, sesuatu yang sulit dipahami, namun kerap kali bersangkutan. Romance | Thriller | Mystery | Fantasy | Adventure Hamada Asahi x Shin Ryujin Fanfiction ©acathmoy's own story, 2021.