Keping 51 : Aku Rindu

456 109 33
                                    

(Melawan Restu)

Mungkinkah aku meminta

Kisah kita selamanya

Tak terlintas dalam benakku

Bila hariku tanpamu

.

Happy reading

🌻🌻🌻

Mila masih terus berdiri di depan pintu rumahnya meski matanya tak lagi melihat siluet punggung Arqam. Persis dua menit yang lalu, usai melambai, lelaki berhidung mancung itu menghilang di balik gang. Menyisakan desingan hampa angin malam yang menggesek dedaunan.

Mila menarik napasnya panjang. Sedikit merasakan sesak di bagian dada. Ada yang mengganggu ketenangan batinnya, dan sepertinya itu lebih parah dari serangan pria bertopi tadi. Bahkan mampu mengalahkan rasa nyeri yang kini tengah bersarang di perutnya.

Bukan, bukannya Mila tak mau tahu tentang apa yang kini mengganggunya. Ia hanya sedang berusaha mengembalikan egonya pada keadaan. Takut dihempas kenyataan. Lagi dan lagi, terus dan terus, meyakinkan hatinya untuk tahu diuntung... bahwa dirinya dan Arqam persis seperti pungguk merindukan bulan.

Mila enggan melangkahkan kaki untuk membawa tubuhnya masuk ke dalam rumah. Ia ingin berlama-lama menatap sisa keberadaan Arqam. Walau ia tahu, semakin ia paksa egonya, semakin tak nyaman rasa hatinya. Tapi gadis manis itu bisa apa?

Untung malam ini adalah malam yang cerah. Rembulan terlihat begitu penuh menggantung di langit sana. Membuat Mila sedikit lebih berani berada seorang diri di luar rumah. Menghiraukan sepinya jalanan gang.

Sungguh tak terbayang bagaimana jadinya jika kini rintik hujan sedang turun, angin kencang dan lampu mati. Lalu dalam kesendiriannya, Mila tiba-tiba melihat penjual sate dengan gerobak yang roda dorongnya tak menyentuh jalanan. Ah, kacau pasti khayal Mila tentang Arqam, kusut semeraut karena kehadiran Mang Sate yang mengawang. Tak lucu 'kan jika Mila sok berani memesan, "Mang... satenya seratus tusuk, Mang."

Mila menggulung jemarinya rapat, untuk sedetik kemudian cepat ia mengangkat tangan kanannya dan meletakkannya lembut di dahinya. Mengingat-ingat kecupan mendadak Arqam yang mengkudeta dahinya tanpa izin. Mana di depan Juan dan Tania pula.

Seperti gadis yang kehilangan sebelah fungsi otaknya, Mila tersenyum sambil meneteskan air mata. Ia bahagia, tapi ia sedih. Dan di antara keduanya, ia tak tahu mana yang paling mendominasi berangkas emosinya.

Demi indahnya purnama, Mila sepertinya tak lagi mampu membendung rasanya. Entah apalah namanya, ia pun tak mengerti. Setiap kali dendrit di otaknya menghantarkan impuls tentang Arqam, maka secara otomatis hatinya melonjak tanpa arah, menembus dinding-dinding kesadarannya, membelenggu jiwanya dengan kehangatan nyata yang dia yakin hanya dia yang dapat merasakannya. Gombal atau tidak, sungguh Mila tak peduli. Yang pasti ia hanyalah korban dari kesembronoan Arqam yang memeluk dan mengecupnya tanpa izin.

Ya, ia hanya korban.

Yang ditawan dengan paksa dan diperlakukan seolah-olah istimewa.

Ya, ia hanya korban.

Yang merasa terlalu rendah untuk menjadi yang pertama mengungkapkan. Sebab dalam benaknya, cuma ada satu jawaban untuk keseriusan hubungannya dengan Arqam, apalagi kalau bukan kemustahilan.

"Ya Allah, tolong Mila! Rasa Mila untuk Kak Arqam, tolong hilangkan."

...

Arqam baru saja selesai berganti pakaian. Dan kini ia sedang membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang. Membentangkan dua lengannya lebar-lebar, mencoba menghirup udara sekuat dan semampu paru-parunya bisa menghirup.

ArqaMilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang