Keping 59 : Pohon dan Buahnya

360 92 31
                                    

-tebak dulu ujung kepingnya sebelum baca, bisakan teman?-

.

Happy reading

🌻🌻🌻

Mau bagaimana pun dihindari, mau seperti apa pun diundur, jika sesuatu itu sudah ditetapkan untuk terjadi, maka pasti akan terjadi.

Arqam pikir dengan tak membahasnya, tak menyinggungnya, Mila tak akan secepat ini mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di persidangan tadi.

Tapi ya sudahlah, kini nasi telah menjadi lontong, terlalu terlambat untuk disesali. Lagian lontong juga masih sama bermanfaatnya dengan nasi 'kan? Tinggal tambah opor ayam, taburi bawang goreng dan kerupuk merah, maka pasti langsung best.

Arqam menarik napasnya dalam. Dibanding dengan lima belas menit lalu, lelaki berkaca mata itu lebih tenang sekarang. Dengan Mila yang juga sudah terlelap tenang dalam pangkuannya, terpejam dengan mata sembab, puncak hidung memerah dan rambut berantakan.

Arqam merapikan semampu jemarinya sanggup merapikan rambut istrinya yang berantakan, memasukkannya ke belakang telinga sang dara, dan melakukannya penuh perasaan.

"Kamu pasti lelah, Mil." Arqam mengelus pelan dahi Mila, "untuk saat ini, ayahmu memiliki jalan cerita yang rumit dalam kematian ayahku. Hidupmu terjebak bersamaku, mengasuh Rumaisha dan tak bebas membesarkan mimpi-mimpimu. Kamu lelah dengan semua ini, 'kan?"

Sambil terus bersuara, Arqam enggan menjarakkan matanya dari menatap Mila. "Tapi aku mohon bertahanlah sebentar lagi, Mila. Sebentar saja dan itu mungkin cukup untuk membayar semua lelahmu. Lelah kita."

Arqam tertawa pelan, lalu berdecak pada dirinya sendiri seolah ia menyesal karena telah tertawa, "kamu ingin tahu seperti apa kegilaanku dipersidangan tadi Mil? Itu seperti kamu yang menangis meminta aku melepaskanmu malam ini. Persis. Kita berdua sama-sama lemah ternyata, sama-sama takut menerima kenyataan yang tak kita inginkan."

Malam bertambah larut, di dalam kamar sepertinya Ningrum berhasil menenangkan Rumaisha dengan membujuk gadis comel itu untuk tidur.

Tapi di ruang tamu kini, dengan keadaan yang seperti ini, tentu saja Arqam tak bisa tertidur. Sepicing pun si tampan tak bisa.

Sambil terus mengusap pelan dahi Mila, mata Arqam liar mengamati ruangan kecil tempat istrinya hidup selama ini.

Lelaki berhidung mancung itu melihat banyak gantungan medali di dinding barat ruangan, beberapa buku bacaan yang judulnya masih terbaca jelas olehnya, lipatan kain yang belum masuk lemari, onggokan mainan Rumaisha dan lainnya. Tapi Arqam tak menemukan sebuah foto pun yang terpajang di ruangan. Tidak foto Mila, tidak juga foto ayah sang dara.

Hanya saja hal penting dalam ruangan itu yang membuat Arqam tersadar dan yakin bahwa Saddad berkata jujur selama persidangan benar-benar menyita fokusnya setelah pandangannya puas mengitari isi ruangan, itu adalah tumpukan buku bacaan di atas meja kecil tepat di sebelah medali yang bergantungan.

Arqam menunggu beberapa saat lamanya sampai Mila terjaga, menahan posisinya tak berubah agar Mila tetap merasa nyaman.

Akhirnya tanpa aba-aba, setelah beberapa puluh menit lamanya si gadis manis duduk dengan tiba-tiba sambil menatap Arqam heran. Ingin bertanya kenapa dirinya bisa tertidur di atas paha Arqam tapi suaranya tak keluar.

Normalnya, kalau seperti itu situasinya, siapapun lelaki yang menjadi Arqam pasti akan bertanya apakah Mila sudah mendingan, tidak pusing, ingin minum atau sebagainya.

Tapi Arqam sedikit berbeda, ia yang sudah mendapatkan jawaban atas dugaannya langsung menyambut Mila dengan sebuah kalimat sarat istilah yang cukup membingungkan jika didengar oleh orang yang baru saja terjaga dari tidur, "buah mangga yang manis tidak mungkin berasal dari pohon yang daunnya meranggas, akarnya sakit dan dahannya layu 'kan Mila?"

ArqaMilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang