Part 16

1.6K 44 1
                                    

"Apa sih yg lo rasain," kata gw. "Waktu lo ngelakuin itu semua? Nusukin jarum kayak gitu, apa itu nggak sakit?"

Meva duduk di sebelah gw di kamar yg berpencahayaan redup. Tangan kanannya memeluk lutut sementara tangan kirinya terkulai dengan tujuh lembar plester menutupi bekas tusukan jarum. Dia menatap gw sejenak lalu menjawab.

"Mungkin buat lo aneh, tapi gw butuh ini Ri..." katanya tanpa mengalihkan matanya dari mata gw.

Hati gw mencelos mendengar jawaban yg terlontar dari mulutnya. Seperti ada sebongkah es meluncur dan meliuk-liuk dalam perut gw.

"Sebutuh itukah lo dengan rasa sakit?" tanya gw lagi. "Gw mau tau apa yg lo dapatkan dari kesakitan itu."

Meva tersenyum, mengalihkan pandangannya pada gorden jendela di depan kami, lalu menatap gw lagi.

"Gw menikmati sakit yg gw rasakan Ri," jawabnya pelan. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ada bulir-bulir airmata yg menggenangi pelupuk matanya. "Gw butuh itu. Entahlah, rasanya nyaman banget begitu ujung jarum menembus kulit gw."

Gw mendesah tertahan. Nggak gw sangka ternyata dugaan gw bener. Bulu kuduk gw sampe merinding mendengar pengakuan Meva.

"Hehe.. Aneh ya gw?" dia usapi airmata yg mengucur di kedua pipinya dengan tangan kanan. "Disaat remaja seumuran gw pada kecanduan narkoba dan drugs, gw malah kecanduan rasa sakit. Gw memang aneh."

"Lo nggak aneh Va," kata gw. "Lo normal kok. Sama kayak gw dan yg lain."

"Thanks buat penghiburannya. Tapi gw tau kok gimana pandangan orang tentang gw."

"Oiya? Hebat dong," ucap gw sedikit sinis.

Dia tersenyum lalu memukul lengan gw pelan.

"Apa lo juga nganggep gw berpikiran sama kayak orang-orang iu?" ujar gw lagi.

"Gw tau kok lo mandang gw berbeda dari mereka. Lo care sama gw. Lo cowok pertama yg peduli sama gw Ri."

Ehem, sebagian hati gw bungah mendengar jawaban Meva.

"Thanks ya Ri."

"Terimakasih karena apa?"

"Yaa atas semua perhatian lo ke gw. Gw seneng lho, ada yg peduli sama keadaan gw."

Ah, rasanya seperti melayang gw denger Meva ngomong begitu.

"Justru gw ngerasa lo yg perhatian ke gw," kata gw.

"Oiya?"

Gw mengangguk.

"Lo perhatian sama gw. Tapi sayangnya lo nggak perhatian sama diri lo sendiri."

Meva tersenyum. Lembut banget...

"Gw tau apa yg terbaik buat diri gw."

"Baguslah kalo gitu. Silakan lakukan apa yg menurut lo baik buat diri lo sendiri. Nggak ada paksaan buat lo."

Meva tersenyum lagi.

"Itu yg sebenernya gw butuhkan. Yg selama ini nggak pernah gw dapatkan dari orang-orang di sekitar gw," dia mengatakan itu dengan jujur, gw tau. "Penerimaan. Nggak banyak yg mau nerima keadaan gw apa adanya kayak yg lo tunjukin. Itu yg bikin gw seperti mengisolasi diri gw dari kehidupan orang banyak. Gw lebih suka menyendiri."

Lagi-lagi gw terenyuh mendengar ucapan Meva.

"Lo bisa nerima gw apa adanya," ulang Meva.

"Oke..oke...sebelum gw makin GR gara-gara semua ucapan lo, kita ganti topik pembicaraan ya?"

"Muka lo merah Ri," kata Meva geli.

"Masa? Emang keliatan ya di kamer gelap kayak gini? Kalo menurut gw nih, lo harusnya ganti lampu ini sama yg lebih terang."

"Lo jarang dipuji ya sama cewek?"

"Kadang gw sendiri suka heran, gimana bisa lo belajar di kamer yg gelap kayak gini? Yg ada mata gw bakal rusak."

"Yg gw bilang tadi jujur lho, bukan sengaja bikin lo GR."

"Gw bisa jadi mahasiswa abadi kalo tetep belajar di kamer kayak gini. Pantesan bangsa Indone........"

"............................."

Ada yg menempel di pipi kiri gw. Sedikit basah tapi hangat. Dan saat gw palingkan wajah, kedua bola mata Meva berada sangat dekat dengan mata gw. Speechles. Gw cuma bisa menelan ludah.

"Anggep aja itu sebagai ungkapan terimakasih gw ke elo," kata Meva dengan tenangnya seolah tadi dia hanya mengecup dinding kamar.

"Ah...eng.....itu.....eh, iyah sama-sama," gw mendorong wajahnya menjauh dari wajah gw.

Dia nggak tau degupan jantung gw sudah mencapai seratusribu detak per detiknya. Kaki kanan gw mendadak bergetar saking gugupnya. Entah apa yg terjadi, otak dalam kepala gw berkecamuk bayangan-bayangan nggak jelas.

"Busett..lo tadi ngiler ya?" gw usapi pipi gw yg sedikit basah.

Meva tertawa lebar. Bisa banget dia lakukan itu!

"Sorry sorry gw nggak sengaja tuh."

Shit!! Gw jadi nggak bisa berpikir jernih gara-gara kejadian barusan. Sementara Meva di samping gw cuma diam menatap gw sambil tersenyum.

"Kenapa lo nyium gw?" kata gw.

"Tadi nggak kedengeran ya? Sebagai ucapan terimakasih gw ke elo."

"Bukan itu. Maksud gw, lo nggak takut yg lo lakuin tadi akan mengubah keadaan kita?"

"Yaelaah baru juga pipi. Lo terlalu mendramatisir," kata Meva lalu tertawa. 

"Gw percaya lo kok Ri. Hal kecil kayak gitu nggak akan bikin lo antipati sama gw."

HAL KECIL kata lo???

Gw diam. Lebih baik diam deh. Lalu gw tatap Meva. Sepertinya benar, ciuman tadi hanya sebuah ungkapan terimakasih. Entahlah, dalam beberapa keadaan wanita memang sulit dimengerti.

Dalam hati gw berharap lo nggak akan nyakitin diri lo lagi. Karena ngeliat lo sakit, itu akan bikin gw sakit juga...

Sepasang Kaos Kaki Hitam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang