Bagian Satu

1.3K 28 0
                                    

Malam itu gw ke beranda dengan secangkir kopi dan sedikit cemilan di piring. Gw duduk di kursi favorit gw, lalu mengirim sms ke Meva.

-gw di beranda nih. keluar donk temenin gw ngobrol...-

Dan kurang semenit kemudian Meva sudah duduk di tempat favoritnya di tembok beranda. Dia mengenakan setelan kaos dan celana jeans panjang hitam. Rambutnya disanggul ke atas, kali ini menggunakan konde berbentuk sumpit warna cokelat. Tapi yg membedakan malam ini adalah Meva memakai soft lens hijau. Dengan make up tipis dan seadanya dia tampak sederhana tapi manis.

"Nggak lembur?" tanyanya sambil mencicipi cemilan.

Gw jawab dengan gelengan kepala.

"Kok gw nggak denger suara loe dateng yah tadi sore?" tanyanya lagi, heran.

"Gw pake 'silent mode' soalnya," jawab gw lalu tertawa.

"Eh, kok tumben lo ngopi Ri?" Meva mengangkat cangkir kopi gw. "Bukannya lo nggak suka kopi ya?" dia menaruh lagi cangkirnya.

"Gw suka kok. Cuma jarang aja ngopinya."

"Oooh...baru tau gw. Duh kemana aja yak gw!" Meva menepuk jidatnya seolah baru tau kalo gw suka kopi adalah sebuah dosa besar buatnya.

Sejenak kami terdiam.

"Eh nanti lusa jangan sampe lupa yak!" Meva mengingatkan soal wisudanya.

Gw tersenyum lalu menjawab, "Beres itu mah. Gw udah ambil cuti dua hari, besok sama lusa. Jadi gw bisa nemenin lo pas wisuda."

Meva tertawa kecil dan mendadak seperti mengusap airmata di matanya dengan jari telunjuknya.

"......."

"Nggak papa kok, nggak papa," Meva buru-buru menjawab pertanyaan dalam hati gw. "Saking senengnya nih gw sampe mendadak nangis."

"......."

"...Ri, sebenernya dari dulu gw berharap banget, nyokap gw bisa hadir di wisuda gw. Gw pengen nyokap liat anaknya berhasil menamatkan kuliahnya. Buat gw itu berarti banget, sebagai langkah awal gw nanti ngebangun kehidupan gw sendiri," kali ini Meva menggunakan lengan kaosnya usapi airmatanya yg perlahan jatuh di pipinya yg halus.

Gw terenyuh, dan memori di kepala gw memutar adegan wisuda beberapa tahun yg lalu, dan dalam hati gw bersyukur di hari itu gw bisa bersama kedua orangtua gw lengkap. Sebuah momen yg sangat berharga dan nggak akan gw lupakan.

"......."

"Tapi gw yakin Mamah di sana juga pasti bangga ya liat gw wisuda," Meva menghibur dirinya sendiri.

"Dan akan lebih bangga lagi kalo setelah wisuda ini, lo bisa menentukan masa depan lo dengan baik," sahut gw.

Meva mengangguk semangat mengamini pernyataan gw.

"Gw pasti buktiin itu," ucapnya lebih ke dirinya sendiri. "Gw anggap wisuda ini adalah kotak pertama gw, dan masih banyak kotak lagi menuju kotak terakhir buat jadi menteri."

Kami berdua saling pandang.

"Lo masih inget kan soal 'menteri' yg lo bilang dulu?" Meva mengingatkan.

"Masih," jawab gw pendek.

Meva tersenyum lagi. Dia turun, berjalan mengelilingi kamar-kamar yg ada di lantai atas sini, dan kembali ke tempatnya. Berdiri lalu tersenyum lebar.

"Hmmm....Suatu hari nanti, kalo gw udah nggak di sini lagi, gw akan merindukan momen-momen seperti ini..." ucapnya menatap lurus ke depan.

"......."

"......."

"Apa ini artinya lo bakal pergi, Va?"

Meva menoleh ke gw.

"Kecuali ada yg 'menahan' gw buat tetap di sini," dia mengedipkan sebelah matanya lalu tertawa.

"Ohya? Kalo gitu apa yg bisa menahan lo tetap di sini?"

"......." Meva diam berpikir, dengan gaya tolol khas nya.

"Masa lo nggak tau sih?" tanyanya kemudian.

Gw menggeleng. Nggak mengerti.

"Yaudah kalo gitu cari tau dulu deh. Hehehe..." dia menjulurkan lidahnya.

Gw mendengus pelan.

"Wah ada yg lagi pacaran nih kayaknya," tiba-tiba si Gundul Indra muncul di ujung tangga, dengan kantong hitam di tangannya. Indra, yg sejak married nggak pernah membiarkan rambutnya gundul lagi, berjalan menghampiri kami. Gw menjabat tangan Indra semangat.

"Boleh gabung? Nih gw bawa softdrink sama cemilan biar nggak asem tuh mulut," Indra meletakkan kantongnya di lantai. Dia duduk di ujung tembok dan bersandar ke dinding kamar. Menyulut sebatang rokok lalu nyengir lebar.

"Denger-denger ada yg mau wisuda ya," katanya melirik Meva.

Meva mengangguk semangat, dan mulai ngoceh menceritakan gimana deg-deg an nya dia waktu sidang dulu. Indra dan gw sesekali tertawa tiap mendengar konyolnya Meva ngejawab pertanyaan dosennya. Topik pembicaraan selain itu tentu saja, nostalgia masa dulu kami bareng di kosan ini.

"By the way tumben lo ke sini Dra, Kak Dea nggak nyariin ya emangnya?" tanya Meva setelah panjang lebar cerita.

"Gw udah ijin kok, sengaja mau reunian sama kalian. Nggak tau kenapa seharian ini gw kangen banget sama kosan ini! Apalagi sama kamer gw," Indra menunjuk kamar yg dulu ditempatinya. Dia melamun sebentar lalu tersenyum. "Seribu hari yg indah rasanya nggak akan sanggup mengganti masa-masa itu ya. Dua tahun yg akan datang belum tentu kita bisa kayak gini lagi."

Ah, gw jadi mellow. Dan akhirnya malam itu kami bernostalgia di beranda sempit ini. Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, entah kapan waktunya, semua ini akan berlalu. Dan gw selalu yakin, ini semua akan berakhir indah nantinya.......

Sepasang Kaos Kaki Hitam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang