"Oke itu hak lo Va," kata gw dengan beratnya. "Kalo memang itu bisa nenangin diri lo."
Meva mengembuskan nafasnya di leher gw. Sensasi merinding langsung merambati tubuh gw. Bukan, bukan hanya karena embusan nafasnya yg lembut. Tapi lebih karena ketakutan gw kehilangan Meva. Gw bisa merasakan jantungnya berdegup pelan di dada gw. Pelukannya nggak begitu erat, cukup menjelaskan keraguan dalam dirinya sendiri. Airmata sempat menggenangi pelupuk mata gw tapi gw menahan diri buat menangis.
"Tapi gw akan sangat berterimakasih kalo lo mau balik lagi ke sini," lanjut gw.
Shit! Airmatanya nggak mau menghilang dari mata gw. Mungkin setelah ini gw harus mencari cara buat menghadapi momen kayak gini.
"Apa lo akan kesepian kalo gw pergi?" tanya Meva.
"Bodoh...." kata gw spontan. "Lo pikir enak maen catur sendirian?"
Meva tertawa pelan.
"Apa lo bakal kangen sama gw?" tanya nya lagi.
"Bodoh banget," gw lalu senyum.
Kami terdiam sejenak.
"Kalo lo kangen sama gw, lo dengerin aja Endless Love."
"Kenapa Endless Love?"
Meva diam sebentar.
"Itu lagu favorit gw."
"......."
"......."
"Apa ini...apa ini artinya...lo nggak akan balik lagi?" gw sedikit terbata.
Meva diam. Dia embuskan lagi nafasnya tepat di tengkuk gw.
"Jangan bodoh," bisiknya pelan. "Lo pikir kenapa Endless Love jadi lagu favorit gw?"
"Mana gw tau?"
Meva tertawa lagi.
"Endless Love," dia menepuk pundak gw pelan. Melepas peluknya, tersenyum dan berlalu ke kamarnya.....
**
Gw terjaga lagi. Pagi-pagi. Di tengah ruangan yg senyap. Cuma detakan jam yg menempel di dinding yg terdengar memenuhi ruangan. Sedikit bergetar gw menyapu pandangan ke penjuru kamar. Masih ruangan yg sama dengan saat pertama kali gw terjaga. Tabung oksigen, selang infus, gorden biru...
Dan Meva.
Meva duduk di kursi, tertidur bersandar di dinding. Dia nampak sangat kelelahan. Pundaknya bergerak naik turun perlahan seirama dengan hela nafasnya. Ah, wajahnya damai sekali...
Dalam keheningan pagi seperti ini, kadang sisi sentimentil dalam diri kita cenderung lebih menguasai hati. Dan gw, entah kenapa mendadak gw kembali diselimuti rasa takut.
Sejujurnya, gw nggak begitu takut mati. Gw selalu yakin kematian hanyalah sebuah tidur panjang. Tempat dimana mimpi-mimpi yg kita bangun selama hidup akan terwujud di kehidupan abadi kelak. Satu-satunya yg gw takutkan dari kematian adalah perpisahan dengan orang-orang sudah begitu dekat dengan gw. Akan sangat aneh mendengar tangis mereka, melihat mereka mengguncang tubuh gw yg terbaring nggak berdaya dan lafaz ayat suci dari mulut mereka, sementara gw cuma bisa terpaku menatap mereka dalam dimensi berbeda. Tangisan gw, teriakan gw, nggak akan pernah sampai di telinga mereka. Sentuhan tangan gw pun nggak akan mungkin mereka rasakan. Lalu melihat tubuh gw terbenam tanah. Hanya sebuah batu yg tertancap di atasnya sebagai tanda bahwa pernah ada gw dalam hidup mereka. Dan perlahan gw melayang. Jauh.
Semakin menjauh.
Sangat jauh..........
"Astaghfirullahaladzim," gw beristighfar mengusir bayangan-bayangan buruk yg tadi menghinggapi gw.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Kaos Kaki Hitam.
Romancehanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung da...