Part 33

1.7K 32 0
                                    

Kalau ada yg bertanya, lagu apa yg paling berkesan dalam hidup gw, maka jawabannya adalah 'Endless Love'.

Pagi itu gw terbangun ketika matahari pagi sudah menampakkan diri di ufuk timur. Gw masih di Jakarta, dan yg pertama gw ingat pagi itu adalah Meva. Kemarin sore kami menikmati perjalanan pulang dalam kebisuan. Begitu sampai di rumah Meva langsung mengurung diri di kamarnya. Jadilah gw menghabiskan malam ngobrol bareng Oma dan Tante Ezza, tantenya Meva. Mereka bilang Meva memang selalu begitu tiap kali menjenguk mamahnya. Tapi mereka meyakinkan gw kalau Meva akan baik-baik saja.

Dan benar, pagi ini gw menemukan dia sedang duduk di ayunan di halaman depan. Dia langsung tersenyum lebar melihat gw.

"Tumben pagi-pagi kebo udah bangun," katanya menyapa dengan nada ceria.

Gw duduk di sebuah batu besar di sisi tembok, setengah meter dari tempat Meva.

"Ini udah siang kali Va," kalo nggak salah liat tadi di ruang tengah jam dinding menunjukkan jam setengah tujuh pagi.

Pagi ini cukup sejuk. Nggak nyangka juga, soalnya yg gw tau Jakarta kan terkenal panas dan polusinya. Mungkin karena di halaman ini banyak tanaman jadinya berasa adem.

"Kok sepi? Tante sama Oma kemana?" gw memandang berkeliling.

"Paling juga Oma lagi ngerajut di kamernya. Oma gw ahli lho, gw pernah dibuatin sweater rajutan tangannya waktu kecil dulu. Kalo tante, kayaknya lagi belanja di pasar."

Baru saja selesai ngomong, pintu pager terbuka dan masuklah Tante Ezza dengan membawa beberapa sayuran dalam kantong putih.

"Tante pasti mau masak makanan favorit gw kalo di rumah," Meva berkomentar menatap tantenya yg sempat melempar senyum sebelum masuk ke rumah.

"Oiya? Emang apa menu favorit lo?"

"Soto betawi. Enak banget tuh, apalagi buatan tante gw. Ntar lo coba juga deh.." Meva bercerita dengan antusias. "Terus sama keripik bayem. Buat cemilan gitu," dia tertawa pelan.

Seneng rasanya liat Meva ceria kayak gini. Kontras sekali dengan sikapnya yg kemarin. Hari ini dia terlihat sangat siap menghadapi apapun. Tapi gw tetap menahan diri untuk mulai membahas soal kemarin. Gw takut merusak mood nya.

"Lo tadi tidur di kamer mana?" tanya Meva.

"Yg di tengah tuh, yg acak-acakan gitu dalemnya."

"Hahaha... Itu dulunya kamer gw. Yah lo tau sendiri lah gw paling males soal beberes kamer."

"Udah gw duga."

Meva tertawa lagi. Bener-bener nggak nampak kesedihan yg kemarin sempat mengurungnya begitu dalam. Pagi ini cocok banget dengan keceriaan Meva. Dari dalam rumah terdengar alunan musik yg diputer Tante Ezza, menambah harmonis suasana. Yg diputer lagu-lagu lama semacem Boullevard dan First Love.

"Eh Ri, maaf ya soal kemaren.." kata Meva.

Gw tersenyum lebar.

"Enggak papa kok Va gw ngerti," ujar gw. "Nggak usah dipikirin soal gw mah."

Meva nampak diam sesaat. Dia berhenti berayun.

"Lo nggak malu kan, kenal sama cewek yg punya nyokap gila kayak gw?" tanyanya iba.

"Waduh, ngapain mesti malu? Biasa aja kali. Lo nya juga nggak usah ngerasa nggak enak gitu lah sama gw."

"Enggak Ri.. Gw cuma malu aja sama lo."

"Malu napa?"

"Yaa..malu. Temen-temen sekolah gw aja dulu sering banget tuh ngejekin dan ngerendahin gw cuma karna keadaan nyokap gw yg nggak senormal orangtua mereka..." kedua matanya menerawang jauh ke masa lalunya. "Padahal kan nyokap gw sama nyokap mereka juga sama-sama manusia? Kenapa mereka terlalu mempermasalahkan kelainan nyokap gw..."

Sepasang Kaos Kaki Hitam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang