Gw terjaga dari tidur gw. Kepala gw terasa sangat sakit di sebelah kiri. Secara refleks gw pegangi pelipis sambil kernyitkan dahi menahan sakit yg menurut gw nggak wajar ini. Baru kali ini gw merasakan pening yg sangat menusuk. Wajah dan leher gw berpeluh padahal saat itu baru saja selesai hujan dan masih terasa dingin. Dengan susah payah gw berhasil mengambil obat yg tadi sempat dibelikan Indra, dan langsung meminumnya.
Gw mencoba bangun, dan pandangan gw langsung dipenuhi kunang-kunang yg berseliweran di sekitar kepala gw. Dan makin parahnya, setelah gw bangun justru gw merasa mual. Gw pengen muntah. Buru-buru gw berlari ke kamar mandi dan memuntahkan sebagian isi perut gw di sana. Setelah membersihkan lantai gw kembali ke kamar. Sedikit sempoyongan gw berusaha mencapai tempat tidur.
Aneh, badan gw nggak panas kok. Gw coba pegangi kening dan leher, normal.
"Lo kenapa Ri?" Meva tiba-tiba masuk dan menghampiri gw. "Gw denger suara kayak orang muntah. Lo baikan aja khan?"
"Kayaknya gw sakit nih," jawab gw sedikit terbatuk. Sedikit bertanya juga, apa suara gw tadi sekeras itu sampai terdengar ke kamar Meva?
"Minum obat lagi aja deh," sarannya.
"Udah kok barusan."
"Ya udah lo tiduran lagi aja, jangan banyak gerak dulu." Dia membimbing tubuh gw rebahan di kasur.
Nafas gw sedikit memburu. Sementara nyeri di kepala gw agaknya sekarang merambat ke bagian tengah.
"Maaf ya Ri, gara-gara gw ajakin lo keluar tadi siang jadi gini deh..."
"Nggak papa kok, bukan gara-gara yg tadi."
"Kayaknya lo agak parah deh, muka lo pucet gitu." Meva mengusap rambut gw, menyibakkannya agar tidak menutupi wajah gw. Tangannya hangat.....
"Gw nggak papa kok, beberapa hari ini gw emang kurang baekan. Masuk angin kayaknya."
"Gw kerokkin deh?"
"Nggak usah, nggak usah.... gw nggak biasa dikerok. Sakit ah."
"Yeeey....biar cepet sembuh Ri."
Gw menggeleng sebagai tanda penolakan. Gw punya pengalaman buruk soal dikerok, pernah gw nyaris pingsan waktu dikerok sama nyokap gara-gara waktu itu pake balsem yg panasnya minta ampun sebagai pelicin koinnya. Katanya sih gw emang sempet pingsan, tapi gw ngerasa gw masih sadar kok, yaah memang sih selama beberapa saat gw nggak bisa berkomunikasi saking kagetnya badan gw.
"Gw nggak suka dikerok, oke?" gw bersikeras menolak usul Meva.
"Harus dikerok, khan loe masuk angin?"
"Kalo gitu gw keluarin sendiri deh anginnya, nggak usah dikerok yah?"
"Ah, lagi sakit juga sempet-sempetnya ngomong gitu. Udah, duduk terus buka kaos loe."
"Serius, gw nggak mau dikerok Vaa...." pinta gw sedikit memelas.
"Bentar gw ambil koin dulu di kamer gw." Meva beranjak keluar dan kembali lagi dengan sekeping koin kuningan dan botol kecil yg nampaknya adalah balsem. "Ayo buka kaosnya."
"Aah...kenapa sih lo selalu maksa ke gw?" gerutu gw. Nyeri di kepala gw makin senut-senut.
"Ini khan demi kesembuhan lo?" meva berkacak pinggang dan melotot ke gw. "Tahan bentar doang bisa khan? Jangan jadi banci kayak gitu lah."
"Please Vaa....gw nggak mau dikerok," pinta gw lagi.
"Tenang aja, gw pake balsem dingin kok. Nggak bakalan panas. Ini juga koin khusus emang buat ngerok. Liat aja sisi-sisinya halus dan nggak bergerigi. Nggak akan sesakit kalo kita pake uang recehan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Kaos Kaki Hitam.
Romansahanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung da...