Part 30

1.6K 33 0
                                    

"Ekhem!" Meva muncul dari tangga.

Malem itu gw lagi nyetem gitar warisan Indra di beranda. Kayaknya Meva baru balik dari warung abis makan malem.

"Ada yg lagi fallin in love yah!?" serunya.

"Siapa?" tanya gw.

"Ya siapa lagi kalo bukan cowok yg tadi sore abis dapet ciuman di pipi!" katanya bersemangat.

Glekk... Gw menelan ludah. Ni anak rupanya ngintip pas adegan tadi sore. Jadi malu gimana gitu!

"Nggak sopan ngintipin orang," ujar gw sambil tetap memutar pengunci senar, berusaha menemukan nada yg pas.

"Gw nggak ngintip kok," Meva berkilah. "Kejadiannya di depan mata kepala gw sendiri. Tadinya mau nggak liat, tapi yah terlanjur...gw mau tau ajah! Hehehehe."

"Dasar otak mesum," sindir gw.

"Enak aja. Lo kali yg mesum! Gw mah enggak."

Gw tertawa mengejek.

"Eh eh kenapa tadi si Lisa nggak lo seret aja ke dalem kamer???" kata Meva tampak antusias.

"Tuh kan elo yg otak mesum!" sahut gw. "Ngapain juga coba bawa dia ke kamer??"

"Yaah sapa tau loe butuh sukarelawan buat beresin kamer?"

"Enggak. Kamer gw nggak pernah berantakan. Gw mah orangnya rapi, enggak kayak loe.....cewek tapi males beres-beres. Segala daleman dipajang di tembok pula!"

Meva nyengir malu.

"Ngapain gw capek-capek beresin kamer, yg keluar masuk kamer gw kan cuma elo? Nggak perlu rajin-rajin laah.. Lo juga bukan tamu."

"Pake alibi lagi. Males mah males aja neng."

Meva pasang wajah cemberut. Tapi entah kenapa gw justru malah pengen ketawa liat mukanya. Kocak banget kalo lagi belagak sewot gitu.

"Jadi..."

"Jadi apaan?" potong gw.

"Bentar dulu, kasih kesempatan gw ngomong napa? Maen serobot ajah!"

"Oh, kalo gitu waktu dan tempat kami persilakan..."

"Nggak lucu. Garing. Lo nggak ada bakat jadi pelawak."

"Siapa bilang? Gw ada bakat kok, cuma yah bakat terpendam gitu. Saking terpendamnya sampe nggak keliatan!"

Meva tertawa.

"Jadi, lo sama Lisa..." Meva membentuk dua paruh burung yg berhadapan dengan jari-jari kedua tangannya, lalu menempelkan ujungnya beberapa kali. "Kalian resmi pacaran?"

"Ah enggak kok. Belum diresmiin sama Lurah."

"Yee lo mah gitu, gw tanya serius juga!" Meva mencibir. "Kalian pacaran yak?"

"E-N-G-G-A-K."

"Alaah...bokis banget. Ngapain juga cipokan kalo belum jadian?"

"Dia yg nyosor gw, jadi nggak bisa dibilang sebagai bentuk kissing. Okay? Lagian cuma di pipi doank."

"Tapi lo nggak nolak kan? Sama aja itu mah!"

"Beda laah... Ciuman itu kalo bibir sama bibir, itu baru disebut ciuman. Yg tadi sore mah bukan. Apa perlu gw praktekin?" gw bergerak maju. Waktu itu jarak kami sekitar setengah meter. Dengan cepat Meva melempar sendal jepit dari lantai ke arah muka gw, tapi kali ini gw bergerak cepat menghalau dengan gitar. Sendalnya jatuh ke lantai. Gw tertawa kemudian duduk kembali di kursi.

"Berani gerak satu inchi ke arah gw, gw jamin gw adalah orang terakhir yg lo liat di hidup lo," Meva mengultimatum. Tapi gw yakin dia nggak serius dengan ucapannya.

Sepasang Kaos Kaki Hitam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang