entah sudah berapa lama gue duduk di atas kursi ini. sebaik apapun pembawaan gue dan seceria apapun keadaan di sekitar gue, toh tetep aja masih ada separuh hati gue yg menangis. kehilangan echi benar-benar satu pukulan telak yg nggak bisa gue elakkan. terlalu sakit buat meyakinkan hati bahwa ini akan berlalu seperti satu detik yg baru saja terlewati. dan terlalu dalam perasaan yg telah tumbuh di hati untuk menganggapnya berlalu.
"gue udah ikhlasin dia kok," kata gue menanggapi pernyataan indra yg ingin gue segera mengikhlaskan echi.
"ya udah kalo emang ikhlas, jangan terlalu dibawa sedih terus.." ujar indra. "kasian echi di sana."
indra kepulkan asap putih dari mulutnya dan membubung tinggi lalu lenyap tertelan dinginnya malam. dua isapan lagi dan rokok di tangannya sudah mendekati ujung.
"lagian kayaknya sekarang lo udah dapet gantinya echi," indra melirik pintu kamar meva.
"ah, terlalu cepet buat gue nyari pengganti dia. susah dul nyari ganti cewek yg udah gue sayang banget.."
"mending gitu daripada nggak dapet samasekali, iya khan?"
gue hanya nyengir sedikit.
"meva cakep kok kata gue," komentar indra. dia membuang puntung rokoknya.
"iya tau. gue masih normal kali."
"wedeew.....gue pikir loe udah kehilangan selera ama cewek. kadang gue suka takut lho, suatu hari nanti lo nembak gue.?"
dan kami berdua tertawa lebar.
"sialan loe. biar gue homo juga gue pilih-pilih kali. hahaha..."
"wah berarti gue parah dong sampe cowok aja ogah sama gue."
"begitulah elo dul. haha.."
"udah ah," indra menengok arlojinya. "udah mau jam delapan. gue berangkat gawe lah."
indra masuk ke kamarnya dan keluar dengan seragam lengkap.
"di bawah tivi ada mie instan tuh, lo masak aja kalo laper," katanya.
gue mengangguk.
"eh iya, gue abis beli kaset baru tuh. tonton gieh semaleman sampe puas." dia tertawa kecil.
"iya, udah berangkat sana."
"oke oke. kayaknya loe seneng banget gue pergi?"
gue lempar sandal tapi meleset.
"udah berangkat sana, telat kena marah bos lo."
"iya iya gue cabut dolo." dan kurang dari semenit kemudian gue mendapati diri gue seorang diri di beranda.
ya, gue memang lebih sering sendiri di sini. kalo indra shif malem, gue cuma punya beberapa jam buat ngobrol-ngobrol sepulang gawe, sampe dia berangkat gawe. sementara meva, seperti biasa, sudah beberapa hari ini gue nggak melihat dia. nampaknya dia mulai lagi dengan kebiasaannya yg suka "menghilang". setelah beberapa hari sempat rutin ngobrol di tembok beranda yg menghubungkan kamar kami, gue kembali merasakan sepi. dan kesepian selalu membuat gue merasa semacam sentimentil yg membawa gue dalam kesedihan.
sudah berhari-hari gue perhatikan pintu kamar meva tidak pernah terbuka. itu yg membuat gue yakin dia "menghilang", seperti biasanya. semenjak gue kenal dekat 'cewek aneh' ini, meva selalu menyempatkan ngobrol bareng gue sepulang gue kerja. itu kalo dia lagi ada di sini, kalo lagi pergi (gue selalu lupa menanyakan hal ini ke dia) ya begini inilah gue. sendiri dan sepi. tapi gue pikir gue akan terbiasa dengan kesendirian ini.
maka alangkah terkejutnya gue ketika tiba-tiba saja sosoknya muncul di atas tangga, sambil membawa beberapa kantong plastik yg nampak seperti belanjaan. gue sempat mematung di kursi menatap ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Kaos Kaki Hitam.
Romanshanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung da...