Part 28

1.4K 31 1
                                    

Jumat sore di minggu yg sama...

Gw baru balik kerja. Tiba di lantai atas gw mendapati Indra sedang berdiri membelakangi gw. Menyandarkan kedua tangannya di tembok balkon, dia menatap kosong ke sawah-sawah luas yg letaknya sekitar tigaratus meter dari sini. Pakaiannya sudah rapi. Di bawahnya, di lantai tepat di samping kakinya tergeletak sebuah tas ransel berisi pakaian.

"Lo udah siap pindahan?" tanya gw.

Dia cukup terkejut. Menatap kaget gw lalu mengangguk pelan.

"Gw udah beresin semuanya. Udah gw pindahin juga barang-barang gw," ujarnya. "Tinggal gw nya aja yg pindah."

"Oke. Gw mandi dulu ya?" gw bergegas ke kamer gw.

Sore ini emang rencananya gw mau nganter Indra pindah ke rumahnya. Dia dapet jatah shif malem, kayaknya dia udah pindahin barangnya sebelum gw balik. Lagipula barangnya nggak seberapa kok. Cuma perlengkapan standar anak kos.

Limabelas menit kemudian gw udah siap. Gw berdiri di depan pintu kamar yg sudah gw kunci.

"Oke, gw siap." kata gw. "Gw nggak sabar pengen tau rumah lo dul.."

Indra tersenyum. Senyum yg aneh menurut gw. Senyum yg nggak biasanya. Sebuah senyum yg menandakan dengan jelas bahwa si pemiliknya begitu berat untuk melakukan itu. Gw maklum. Sama seperti Indra, gw juga sedih kok temen kos gw selama dua tahun ini pergi.

"Boleh gw bicara sama lo dulu, sebelum pergi?" ujar Indra. Mendadak dia mellow gimana gitu.

"Ngomong aja," kata gw berusaha memberikan ekspresi yg menenangkannya.

Indra terdiam. Jelas ada satu beban yg tergambar jelas di kedua matanya. Beban yg mungkin selama ini dipikulnya. Apa terlalu berat kepindahan ini sampe dia sebegitunya? Gw rasa enggak. Jadi gw mulai menebak-nebak beberapa pertanyaan yg mendadak muncul di otak besar gw.

Indra masih diam. Saat itulah gw menyadari secarik kertas di tangan Indra. Kertas lusuh yg sepertinya gw kenal. Gara-gara kertas itukah? Masa sih? Apa hebatnya kertas itu sampe bikin Indra merasa terbebani gitu? Jujur aja, gw masih belum tau apa kaitannya tingkah Indra yg aneh sore ini dengan kertas itu, yg pasti beberapa kali Indra melirik kertas di tangannya lalu menarik napas berat. Napas yg sepertinya cuma bisa tertahan di tenggorokan tanpa mampu mengalir keluar. Dan gw semakin yakin, ada lebih dari sekedar beban berat yg ada di hatinya. Ada sesuatu yg harus sesegera mungkin diungkapkan.

"Ada apa sih dul?" gw menunggu dengan sabar tiap kata yg akan dikatakan Indra.

Dia menatap gw, lalu kembali menatap kertas di tangannya, dan seketika tubuhnya bergetar hebat. Kertas di tangannya sampe terjatuh. Indra menangis!

"Lo kenapa dul?" gw heran dengan perubahan sikapnya. Dalam hati gw berharap semoga ini bukan pertanda buruk.

Indra masih terisak. Benar dugaan gw. Ada sesuatu yg mungkin selama ini dipendamnya. Dan ketika sekarang harus diungkapkan, itu terasa amat berat. Gw bisa melihatnya. Tapi gw nggak tahu harus berbuat apa. Terakhir kali gw berhadapan dengan perubahan mendadak ekspresi seperti ini adalah waktu Natal tahun lalu.

"Kalo memang ada yg mau lo bagi," kata gw. "Cerita aja. Gw akan dengerin kok."

Indra menggeleng. Dia menyeka kedua matanya. Tapi dengan deras airmatanya jatuh lagi.

"Ada...ada yg harus gw bilang ke elo Ri..." dia berusaha mengatakannya.

"Oke. Bilang aja nggak papa kok."

Apa perpisahan ini terlalu berat buat Indra? Gw rasa nggak segitunya ah. Karaba sama Teluk Jambe deket. Dia bisa mampir ke kosan ini kapanpun dia mau. Dia juga punya motor, jadi nggak ada kesulitan akses menurut gw. Lalu apa yg sebenernya mau dikatakan Indra?

Sepasang Kaos Kaki Hitam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang