Suatu sore yg cerah di pertengahan November 2008..
Gw dan dua rekan kerja gw baru saja selesai meeting di sebuah gedung stasiun televisi swasta di kawasan Kapten Tendean Jakarta, dalam sebuah merger sponsor untuk event ulangtahun stasiun televisi itu pertengahan bulan depan. Stasiun televisi berlogo mirip belah ketupat itu memilih perusahaan kami sebagai salahsatu sponsor untuk event ulangtahun mereka yg ke tujuh sudah sejak enam bulan yg lalu, dan pertemuan hari ini hanya membahas beberapa kesepakatan akhir saja.
Arloji di tangan gw menunjukkan pukul setengah lima sore ketika kami bertiga sampai di area parkir menuju sebuah avanza hitam yg akan membawa kami kembali ke tempat kerja.
"Enaknya kita makan di mana ya?" kata Rinto, ketika kami sampai di mobil kami.
"Di FX aja gimana?" sahut Nila, dia satu-satunya cewek dalam rombongan sore itu. Dia juga yg kelihatan paling lapar.
"Ya gw sih oke aja, gimana Pak?" tanya Rinto ke gw.
"Eh....ng......makan ya? Kenapa nggak di warteg aja?" kata gw becanda. "Kan banyak menunya tuh. Murah lagi..."
Nila dan Rinto tertawa mendengar jawaban gw. Nila membuka pintu samping dan menaruh tas berisi dokumen dan laptop di sebelah ujung kiri kursi. Sementara Rinto mengambil posisi di belakang kemudi dan gw sendiri di sebelahnya. Dalam sekejap gw merasakan sejuknya AC di dalam sini. Sore itu sebenarnya cukup sejuk dan juga tadi gw terus berada di ruang ber AC, tapi nggak tau kenapa gw tetap kepanasan. Deru mesin terdengar halus dan teredam. Rinto sedang warming up mesin.
"Kangen sama jengkol dan kawan-kawan ya boss? Hehehehee..." goda Nila.
"Yah sekalian bernostalgia ke masa kuliah dulu kali," timpal Rinto. "Saya aja dulu waktu kuliah favorit banget sama masakan rawon depan kosan."
"Kalo saya nggak sempet tuh ngerasain ngekos. Waktu kuliah gw tinggal sama bokap nyokap gw soalnya," kata gw. "Baru pas mulai kerja saya ngekos deh."
Nila menyodorkan tangannya dari belakang, mengajak gw bersalaman.
"Kita sama Pak," katanya.
"Hahaha..." gw tertawa kecil sambil menjabat tangannya.
"Eh eh, tadi kalian liat nggak ada Pasha Ungu sama Onci nya juga lho. Sayang nggak sempet foto bareng sama mereka," Nila bercerita dengan sangat antusias. "Waah kayaknya kalo kerja di tempat kayak gini enak yahh bisa sering-sering ketemu artis yah? Pasti menyenangkan sekali.....!"
Gw dan Rinto cuma senyum geli.
"Tiap hari juga kita kan ketemua artis?" kata Rinto.
"Artis? Di mana?" Nila berusaha memahami ucapan Rinto tadi.
"Di kantor lah."
"Kantor? Emang ada yah artis di tempat kita??" dia masih berusaha mencerna kalimat tadi.
"Ada lah! Si Encek, dia kan mirip sama Cristian Sugiono!" ujar Rinto, dan meledaklah tawa kami di dalam ruang kecil itu.
"Dia bukan mirip sama Tian, Pak." Kata Nila. "Tapi Tian nya yg mirip sama dia!"
Kami tertawa lagi. Di tempat kerja kami memang ada seorang office boy, yg menurut gw mirip sama salahsatu pelawak srimulat. Kami biasa memanggil dia 'encek'. Kami memang sering becanda dengan mencari-cari kemiripan teman kerja kami dengan artis, dan hasilnya ya ngaco lah. Kadang beberapa orang disepakati mirip dengan beberapa artis meskipun pada kenyataannya jaaaaauuuuuh banget! Yah itu salahsatu cara kami melepaskan kepenatan di tempat kerja. Menyegarkan pikiran dengan humor selalu menyenangkan.
"Jadi, kita makan di mana nih??" tanya Rinto lagi memastikan. "Jangan sampe kita balik ke kantor kayak orang yg abis diet tiga bulan."
Rinto dan Nila menatap gw.
"Ya udah terserah kalian aja di mana. Mau di Senayan atau di warteg juga boleh."
"Gimana kalo di Citos aja??" Nila mengajukan usul.
"Kejauhaaan ituuuu........" timpal Rinto.
"Ya udahlah dimana aja, asal makan." Akhirnya Nila menyerah.
Gw usap wajah gw beberapa kali. Hari ini cukup melelahkan. Perjalanan balik ke kantor jam segini pasti akan memakan waktu lama mengingat jam segini adalah jam sibuk. Rinto baru saja memasukkan perseneling waktu pandangan mata gw menemukan seseorang di luar sana. Agak jauh dari mobil kami, seorang wanita dengan seragam serba hitam khas stasiun televisi ini, membawa tas jinjing, berjalan menuju sebuah inova silver di sudut parkiran.
"Tunggu," kata gw tanpa menoleh ke Rinto ataupun Nila di belakang.
"Kenapa Pak?" tanya Rinto.
"Kalian tunggu dulu di sini. Saya mau ke sana sebentar," gw menunjuk mobil yg dituju wanita itu.
"Ada apa emangnya? Ada yg ketinggalan?" giliran Nila yg mencari tahu.
"Enggak, saya mau ketemu teman lama dulu. Tunggu bentar aja yah..oke?"
Walaupun dengan seribu pertanyaan di otaknya, Rinto mengangguk setuju. Maka bergegas gw lepaskan safety belt yg sempat melingkar di badan gw, membuka pintu, dan segera berjalan cepat menuju wanita di luar itu. Walau dengan degupan jantung yg mungkin mencapai seribu detak per detik nya, gw terus berjalan. Gw bahkan hampir terjatuh karena kaki gw terasa bergetar dan kehilangan keseimbangannya saat berjalan. Wanita itu baru saja sampai di mobilnya dan hendak menaruh tas nya di bagasi, ketika gw sampai di tempatnya berdiri...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Kaos Kaki Hitam.
Romancehanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung da...