Part 29

1.6K 27 0
                                    

Sebagai sahabat dekat, jujur aja gw merasa kehilangan setelah kepergian Indra. Biasanya tiap balik kerja gw mendapati pintu kamarnya terbuka dan di dalamnya dia lagi asyik maen PS. Tapi selama berhari-hari, dan gw yakin akan sama seterusnya, pintu itu akan terus tertutup. Menunggu sampai ada penghuni barunya.

Memang ada sedikit yg mengganggu dengan pengakuan soal Echi kemarin, tapi gw nggak bisa begitu saja menepikan Indra sebagai sahabat gw. Dia orang pertama yg gw utangin waktu pertama dateng ke kota ini dan kehabisan duit. Hahaha.. Masih cukup banyak yg bisa disebutkan untuk membuktikan dia memang orang yg baik.

Tapi gw juga turut gembira dengan keberhasilannya itu. Sebentar lagi hidupnya akan nyaris sempurna. Karir yg baik serta materi yg cukup, akan dilengkapi dengan pendamping setia. Tinggal menunggu kelahiran buah hati beberapa bulan kemudian, maka sudah benar-benar sempurna lah hidupnya.

"Kapan lo nyusul Indra?" suara Meva membuyarkan lamunan gw.

"Eh, kenapa?" gw tutup majalah di tangan gw dan meletakannya di lantai. "Lo tanya apa tadi?"

"Yeeee lo ngelamun ya??" tanya Meva.

"Enggak kok. Dikit doank sih."

"Haha...ngelamun jorok pasti, gw tau deh."

"Iya, gw ngebayangin lo tiduran di kasur pake bikini doank, terus...terus manggil gw pake suara mendesah gitu.... 'Ariii...' "

"Cukup, cukup. Sebelum buku ini melayang ke kepala lo, tolong hentikan cerita konyol itu."

"...'sini..'..." dan gw tiduran di kasur sambil memeragakan yg gw omongkan sementara Meva menatap gw dengan tatapan jijik. "terus gw deketin lo...."

"Aaaah...udah cukup!" Meva mengambil bantal dan menutupi wajah gw dengan bantal sampe gw susah bernapas. "Cerita lo nggak lucu!"

Gw berteriak tapi yg muncul cuma seperti gumaman. Suara gw tertelan bantal. Dan beberapa saat setelah gw nyaris sesak napas gw berhasil melepaskan diri dari bantal Meva.

"Otak lo ngeres yah...gw baru tau." Meva berkomentar.

"Sialan lo Va, tadi malaikat pencabut nyawa udah nanyain gw tuh mau di kamer nomer berapa," kata gw dengan napas memburu. "Untung aja dia pergi lagi."

"Kenapa pergi?"

"Nggak nemuin harga yg cocok."

Meva tertawa.

"Malah ketawa! Orang hampir mati juga malah lo ketawain," gerutu gw.

Glekk...segelas air terasa segar membasahi kerongkongan gw.

"Hehehe..maaf deh," kata Meva. Dia kembali asyik dengan bukunya. Ada tugas kuliah yg lagi dikerjainnya.

"Eh, sejak kapan lo pake kacamata?" gw baru menyadari bingkai tipis yg melingkari kedua bola matanya.

Meva mengangkat wajahnya. Dia tertawa geli.

"Lo kemana aja? Dari dulu kali, gw udah pake kacamata," jawabnya.

Gw kernyitkan dahi.

"Masa sih?" dan gw mencoba mengingat-ingat. "Enggak ah, gw baru kali ini liat lo pake kacamata."

"Masa? Syukurlah, berarti mata lo udah sembuh sekarang."

Gw mencibir. Tapi jujur aja gw memang baru liat Meva pake kacamata itu hari ini. Sebelum-sebelumnya nggak pernah.

"Mata gw minus setengah, cukup nggak jelas buat ngebaca tulisan cacing ini," dia menunjuk tulisannya sendiri. "Tiap kuliah juga gw pake kacamata kok. Ada yg aneh ya kalo gw pake kacamata?"

Sepasang Kaos Kaki Hitam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang