Part 42

1.4K 28 0
                                    

Nggak pernah ada yg bisa mengendalikan waktu. Di satu waktu kadang gw merasa waktu sangat lambat berjalan, menahan gw lebih lama dari yg semestinya. Tapi di lain hari, seperti yg gw rasakan hari ini, waktu sangat cepat berlalu meninggalkan hari kemarin. Yg tersisa hari ini, hanya serpihan kenangan yg tertinggal dalam hati, atau bahkan terlupakan begitu saja.

Hampir empat tahun sudah gw di Karawang. Semakin hari matahari bersinar semakin indah menerpa helai demi helai padi di sawah Teluk Jambe. Sinarnya hangat, menyemai benih-benih yg tumbuh dalam hati. Gw...sudah dalam tahap nggak bisa dipungkiri lagi...rasa sayang gw ke Meva tercipta begitu dalam. Menembus semua batas-batas perbedaan diantara kami. Bukan, bukan kecantikannya yg memang sangat mengganggu ketenangan hati gw, tapi kebersamaan kami yg membuat gw seolah memilikinya hidup dan mati. Rasa yg seharusnya nggak boleh terlalu melenakan.

Toh pada akhirnya gw juga sadar, nggak ada yg abadi di dunia. Semua yg bernyawa akan mati. Dan semua pertemuan akan mengalami perpisahan. Adalah Meva yg menyadarkan gw akan hal itu. Di satu pagi yg hangat, ketika matahari baru saja menampakkan diri di balik awan pagi.

Gw baru bangun tidur. Membuka mata, dan mendapati sesuatu yg hangat di pipi gw.

Meva. Dia tertidur pulas di samping gw. Satu tangannya di pipi gw dan satu yg lainnya menopang pipinya. Wajahnya yg damai cukup menceritakan indahnya mimpi yg sedang ia nikmati. Mendadak hati gw mencelos seperti ada sebongkah es yg meluncur dan meliuk-liuk dalam perut.

Tuhan, kalau boleh gw berharap...gw nggak mau momen seperti ini berakhir. Gw mau terus seperti ini. Gw mau ada di sampingnya. Melihatnya terlelap di samping gw dan mengucapkan selamat pagi ketika dia membuka matanya.

Semalam gw temui Meva menangis dalam kamarnya. Suaranya yg serak terdengar menembus dinding pintu.

"Lo kenapa Va?" gw buka pintu kamarnya dan mendapati Meva meringkuk di sudut kamar.

Meva mengangkat wajahnya dan begitu melihat gw, dia bergegas memeluk membenamkan wajah di dada gw. Tangisnya membasahi kaos yg gw pake.

"Ada apa?" gw menepuk pundaknya pelan.

"......"

"Lo puasin dulu deh nangisnya. Kalo udah tenang baru cerita..."

"......"

"...atau tidur kalo lo mau."

"Gw nggak mau tidur Ri..."

"Yaudah yaudah sok atuh sekarang nangis aja dulu."

"Lo gimana sih..." dengan suara sengaunya. "...ada orang nangis bukannya disuruh tenang..."

"......"

"...malah disuruh puasin nangisnya."

"Yaudah lo jangan nangis lagi. Cerita ke gw, ada apa?"

"Gw nggak mau cerita."

"Yaudah kalo gitu silakan nangis."

"Gw nggak mau nangis."

"Kalo gitu gw gampar lo, boleh?"

Meva menarik wajahnya. Sejenak menatap gw, lalu melayangkan telapak tangannya ke pipi gw.

"......"

"Kenapa?" tanya gw ke Meva yg terdiam. Telapak tangannya cuma berjarak setengah inchi dari pipi gw.

"Nggak papa..." Meva menurunkan tangannya. "Gw lagi sedih aja."

Meva melepas pelukannya dan mulai menyeka airmata dengan ujung kemeja putih gombrang yg dipakainya. Kemeja itu sangat besar sampai menutupi hampir ke lututnya. Malam ini Meva tanpa stoking hitamnya.

Sepasang Kaos Kaki Hitam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang