Akhirnya kontrak magang gw berakhir dan kini gw berganti status jadi karyawan tetap. Nggak ada perbedaan mencolok memang, tapi sekarang gw mulai memikirkan untuk membangun kehidupan gw di kota ini. Keluarga di rumah menyambut kabar baik ini dengan antusias. Mereka, terutama nyokap, meminta gw pulang sekedar bertemu dan sedikit syukuran. Gw belum tau pasti bisa atau nggak nya, karna terkait jarak yg nggak memungkinkan gw mudik memanfaatkan weekend yg cuma 2 hari. Maka gw sudah memutuskan mengambil cuti pada akhir tahun nanti. Gw juga sudah kangen karena lebaran kemarin gw nggak mudik.
Dan nggak kerasa perkembangan karir masing-masing penghuni kosan atas juga berkembang pesat. Indra sudah jadi foreman muda yg potensial. Baru tiga bulan menempati posisi itu dia mulai dipertimbangkan untuk merangsek naik ke supervisor. Keren! Kadang gw pengen seperti dia yg karirnya begitu cepat naik.
Dan Meva, dia tetap jadi mahasiswi yg rajin. Sejak terakhir dia menusukkan jarum ke tangan, dia nggak pernah lagi melakukan hal-hal ekstrem. Yah minimal gw nggak pernah memergoki dia melakukannya. Entah kalau di belakang gw seperti apa. Tapi gw nggak melihat ada balutan perban di bagian tubuhnya, tanda dia nampaknya memang nggak melakukan lagi kebiasaan anehnya.
Dan satu malam menjelang penghujung Desember...
Gw sedang membenahi pakaian yg akan gw bawa untuk pulang kampung besok ketika pintu kamar terbuka dan masuklah Meva dengan senyum tipis seperti biasanya.
"Lo jadi balik besok?" tanyanya.
Gw menoleh sebentar lalu mengangguk. Gw masih berkutat dengan beberapa lembar pakaian di tangan gw.
"Ini oleh-oleh buat keluarga di rumah ya?" Meva menunjuk dua kardus kecil.
"Iya," jawab gw pendek.
Meva berjalan dan duduk di dekat gw. Dia menatap gw seperti ada yg mau dibicarakan.
"Enak ya kayaknya mudik?" kata dia.
"Emang lo ngga pernah mudik gitu Va?" tanya gw.
"Sampe sekarang sih belum."
"Ya udah atuh balik.. Indra juga mau balik katanya pas tahun baru. Lo bakal sendirian lho."
Meva tersenyum lagi.
"Gw udah biasa sendirian," katanya pelan. "Dan mungkin memang takdir gw buat selalu sendiri."
"Emh..maaf. Gw nggak bermaksud bikin lo ngerasa gitu. Gw cuma..."
"Enggak papa nyantai aja lagi. Gw bukan orang yg mudah tersinggung."
"Iya tapi lo satu-satunya orang yg mudah banget ngasih tamparan ke gw."
Dia tertawa.
"Enggak ah, baru juga sekali!"
"Oiya? Kok kalo gw liat dari hasil rekap punya pipi gw, hasilnya beda? Seenggaknya udah tiga kali gw merasakan belaian lembut tangan lo."
Meva nyengir. Dia mengusapi pipi gw tapi buru-buru gw tepis. Gw takut tiba-tiba belaiannya berubah jadi tamparan keras yg bikin gigi gw rontok.
"Emang gw se mengerikan itu ya?" katanya.
"Enggak kok gw cuma waspada aja," tandas gw yakin.
Gw sudah selesai mengepaki tas dan menaruhnya di samping tumpukan kardus oleh-oleh.
"Sip. Beres," gumam gw setelah mengecek lagi persiapan balik besok.
"Ri, berapa hari lo mudik?" tanya Meva.
"Emmh..sampe tanggal 2 bulan depan. Sekitar seminggu lah."
"Lama donk? Gw ngga ada lawan maen catur deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Kaos Kaki Hitam.
Romancehanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung da...