Mereka adalah insan berbeda, dipertemukan pada situasi yang tak terduga. Hindia dan Belanda.
Happy reading :)
(-STETOSKOP TUA-)
Bencana sudah melanda Hindia. Begitulah seru setiap manusia-manusia yang hidup dalam kegelapan dan petaka melanda tanahnya.
Hampir satu tahun lamanya berhektar-hektar sawah diserang hama. Kegagalan panen mengosongkan lumbung padi di tiap desa. Yang lapar semakin kelaparan, sedang kompeni itu sibuk menumpuk kekayaan. Demi sang ratu, demi pemimpin hebat mereka. Mengabaikan rakyat yang menderita.
Tanpa ada pangan dan kehilangan pekerjaan.
Tanah persawahan terbengkalai, tergantikan oleh perkebunan.
Padi menjadi Kopi.
Pribumi bertanya-tanya. Kemana perginya beras-beras kami? bekerja tiada hasil, kelaparan, kelelahan, dan terabaikan.
Sungguh hebat betul kompeni-kompeni itu. Ketika mereka mulai kekurangan beras karena lumbung kosong, mereka mengisi kembali lumbung itu. Menghabiskan ratusan gulden untuk memenuhi setiap lumbung. Dari Burma menuju Perak, diangkut kereta dari Surabaya menuju Malang.
Sejak itulah malapetaka lebih besar datang.
Abad ke-14 menjadi masa terkelam Eropa. Menjadi sebuah kisah tak terlupakan anak-cucu mereka. Tertulis jelas dalam sejarah sebagai pandemi hebat yang membunuh sepertiga populasi Eropa.
Wabah mungkin memang telah menghilang, tapi tidak dengan akar penyebabnya.
"Laat me gaan, meneer! (lepaskan saya, meneer)"
Ratniajeng memberontak saat seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan kulit lebih terang dari kulit pribumi. Matanya lebih terang dari warna kayu. Rambutnya segelap arang. Tapi tatapannya juga tajam bak elang.
Hanya mengisyaratkan sekilas pada para jongos rumah itu untuk mengusung tubuh Narto yang pingsan.
Rabu sore, rumah Ratniajeng adalah rumah terakhir yang Narto kunjungi. Seperti biasa, hendak kembali ke pusat afdeling, namun pemuda itu jatuh pingsan tanpa sebab. Wajahnya memucat, keringat dingin membasahi wajahnya.
Menimbulkan prasangka dari orang-orang sekitar.
Tidak ada yang bertindak. Hanya berbisik seperti suara lebah. Hanya menunjuk tanpa mau membantu.
Ratniajeng pun hanya diam mengamati pemuda itu dibawa menjauh dari depan rumahnya. Membisu, sama seperti orang lain.
Gadis itu melepas cengkraman laki-laki Eropa lancang itu dan memungut beberapa surat kabar yang berserakan juga Satchel bag yang telak lapuk itu.
Kemudian sesuatu menarik perhatiannya. Selembar kertas berisi artikel. Sekilas mampu Ratniajeng tangkap jika semua bermula dari Burma, bukan tanah Arab ataupun banjir dan pembukaan jalur kereta.
KAMU SEDANG MEMBACA
STETOSKOP TUA
Historical FictionHistorical Fiction #2 By: Alwaysje - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - [Tamat] Lewat sebuah surat dan stetoskop tua. Digariskan dan dihubungkan kisah dari mereka yang berdiri di atas merahnya tanah akibat penjajahan Eropa. Dinaungi kerajaan as...