Memang benar semua pada akhirnya mengerucut pada Ratniajeng. Dengan diawali gadis itu yang nekat berteman dengan seorang anak berdarah Belanda, mempelajari sesuatu yang tidak seharusnya ia pelajari. Ia hanya perlu menjalani tugasnya, haknya, dan melakukan semua tanpa menimbulkan sesuatu yang bisa menghancurkannya dikemudian hari.
Nyatanya. Sang gadis lebih memilih hancur dengan menjadi dirinya sendiri. Ia lebih baik hancur setelah memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan perjuangannya. Tidak ada yang salah. Yang salah hanyalah masa yang sedikit namun terasa begitu keras menghakiminya.
Seperti halnya saat ia kembali harus kehilangan orang yang ia sayangi. Semakin hari, Ratniajeng semakin takut.
Gadis itu benar-benar babak belur dan semua orang tahu itu.
"Biyung sudah bilang, Ni. Jangan buat dirimu atau keluargamu dalam bahaya!"
"Lalu? Haruskah Ratniajeng diam seperti orang bisu? Terpaku seperti orang lumpuh? Abai seperti orang tuli?" ruang itu begitu senyap dan hening. Niat baik sekar dengan membawakan smoor yang Pras katakan bahwa itu adalah makanan kesukaan Ratniajeng, lenyap seketika. Selepas ia tanpa sengaja mendengarkan pembicaraan diantara Ratniajeng dan Narjiman.
Sekar datang bukan untuk menghancurkan suasana, tapi ia ingin memperbaiki hubungan yang tidak seharusnya ia rusak.
Benar bahwa Sekar begitu buruk dengan perlakuannya atau kebencian untuk gadis itu. Namun, sungguh ia tidak ingin melihat gadis itu berakhir dengan mengenaskan. Bukan. Bukan itu harapannya. Walau pernah ia membenci gadis itu sebab tindak tanduk yang tidak mencerminkan sebuah tata krama, tetapi kini tangannya gemetar menggenggam tumpukan surat yang ia temukan di kamar sang gadis. Setiap baris ia baca, kata demi kata dan matanya yang memerah menahan untuk tidak menitikkan air saat itu juga.
Kecewa, marah, sedih, takut bercampur menjadi satu dan membuat Sekar sakit kepala.
Tidak ada yang akan bisa menyelamatkan gadis itu.
Sekar bisa menduga. Tulisan itu tertuju untuk para Londo. Tapi, apakah gadis itu sudah menyebarkannya ke penerbit atau-ada hal lain yang sedang putri tirinya itu rencanakan. Yang pasti itu tidak akan berakhir dengan sederhana.
Wanita berkebaya merah itu memegang pelipisnya dan menatap ke arah pintu kamar yang tertutup.
"Kita tidak bisa diam saja." wanita itu membuka pintu dan menemukan Miriam bersama Helma tengah bermain boneka porselen cantik pemberian Aldert. Mereka tidak mendengar bahkan mengerti tentang apa yang dibicarakan dua orang itu.
Hal yang dilakukan Sekar selanjutnya adalah menggendong Helma begitu kasar hingga bayi itu menjerit karena terkejut, bahkan menangis sebab Sekar adalah orang asing untuknya. Ratniajeng memejamkan matanya, kini air matanya benar-benar lolos kala mendengar jerit tangis Helma. Tatapan ragu dan takut Miriam pun semakin membuat hatinya perih. Dua anak itu belum sepenuhnya pulih dari masa trauma.
KAMU SEDANG MEMBACA
STETOSKOP TUA
Narrativa StoricaHistorical Fiction #2 By: Alwaysje - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - [Tamat] Lewat sebuah surat dan stetoskop tua. Digariskan dan dihubungkan kisah dari mereka yang berdiri di atas merahnya tanah akibat penjajahan Eropa. Dinaungi kerajaan as...