SEMBILAN BELAS

350 104 1
                                    

(-STETOSKOP TUA-)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(-STETOSKOP TUA-)

"Hei!"

"Ratni!"

"Ratni, wacht."

Aldert menahan tangan Ratniajeng dengan lembut. Gadis itu mendengar semuanya. Gadis itu paham maksud mereka. Gadis itu tau tujuan mereka. Intinya gadis itu tau semuanya, termasuk resiko dibaliknya. Dan yang membuat gadis itu marah adalah alasan dibalik mengapa ia yang diseret oleh Aldert.

Bahwa Aldert mengenal Bhanu.

Bahwa Aldert mengenalnya jauh sebelum pertemuan sore itu.

Bahwa Aldert tahu apa yang selama ini ia bicarakan dalam suratnya bersama Bhanu.

Bahwa Aldert membutuhkan informasi itu.

Dalam genggaman tangan Aldert terdapat selembar kertas yang sudah lusuh akibat rematan. Telah ia baca isinya. Rapi seperti surat yang dituliskan. Seperti curhatan dari hati terdalam seseorang.

Ratniajeng tidak bergerak secara terang seperti mereka. Tidak menunjukkan memberontak dan menolak pemerintah secara keras. Begitu halus, begitu hening, tidak kentara sama sekali. Seandainya Aldert tidak menyadari tanda penulisnya. Maka Aldert tidak mungkin melakukan ini.

Cendana Merah, begitu melekat pada nama Cendana Adyahsari.

Sementara surat dari Cendana hanya disebarkan pada kaum wanita.

Karena mereka lebih mudah diperdaya.

Kalimat-kalimatnya begitu manipulatif dan menghasut. Caranya sama, sebagaimana kompeni memperdaya bangsanya.

Aldert akui. Gadis itu bukan sembarangan. Karena kini perkumpulan wanita Eropa di Batavia sedang ramai karena tulisannya. Bahkan selalu membicarakan tentang sosoknya.

Jika para lelaki sibuk memikirkan politik, strategi, monopoli, dan upaya untuk menumpas pemberontak. Maka para wanita berkumpul, membicarakan gosip tak berbobot dari tulisan dari wanita pribumi. Tanpa tahu jika penulisnya adalah gadis berusia enam belas tahun. Tanpa tahu jika tujuan gosip-gosip itu menyebar adalah untuk mengadu domba antara kelompok pria dan wanita.

Wanita selalu direndahkan dibalik rayuan-rayuan di ranjang. Mereka para istri dibawa untuk melakukan tugas mereka semata. Bila mereka tak ada, para pria akan senang keluar-masuk rumah pelacuran dan menyimpan gundik sebanyak-banyaknya. Mereka para wanita hanya dibiarkan berkumpul memamerkan harta yang diberikan suami mereka. Namun tidak untuk kepentingan politik maupun publik. Bila mereka mau, akan ada beribu alasan yang diberikan. Akan ada beribu dusta yang diutarakan. Hingga kesetaraan atau feminisme tidak akan pernah bisa mengancam kedudukan para pria di luaran sana.

Patriarki bukan hanya untuk wanita pribumi. Tetapi wanita Eropa juga sama. Kemudian mereka akan berandai. Bagaimana jika mereka tinggal di rumah--negara asal mereka? Sedang suami mereka berada di Hindia Belanda. Jatuh cinta pada seorang gadis pribumi dan membawanya sebagai gundik. Memiliki anak kemudian mewariskan setengah hartanya di Hindia-Belanda untuk anak itu.

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang