TIGA PULUH SEMBILAN

273 81 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




"Zal het werken, Ratni?" (Akankah itu berhasil, Ratni?)

Aldert bertanya, langkah kakinya berjalan mengikuti kemanapun gadis itu melangkah. Hingga mereka tanpa sadar tiba disebuah jembatan kayu. Gadis itu berbalik menghadap Aldert dan tetap melangkahkan kakinya mundur.

"Sudah sejauh ini, mengapa anda meragu meneer?"

"Aku hanya mengkhawatirkanmu."

Gadis itu tertawa kecil menanggapi Aldert, tetapi ia salah menapak saat mundur dan hampir terjungkal, jika saja Aldert tidak menahan tangannya.

"Ceroboh."

Komentar Aldert tidak membuat Ratniajeng sadar dengan kecerobohannya. Gadis itu memainkan ujung kebayanya memikirkan setiap yang mereka diskusikan tadi. Aldert bahkan begitu pasif hari ini. Benarkah laki-laki itu mengkhawatirkannya?

Kenapa?

Mereka berada pada keadaan yang sama. Mereka bisa mati kapan saja. Resiko yang mereka tanggung seharusnya bisa mereka duga jauh sebelumnya. Aldert yang membawanya, Aldert yang akan menjaganya, sesuai janji laki-laki itu. Dengan mempertaruhkan namanya, dulu Aldert begitu yakin akan melindungi Ratniajeng.

"Aku akan melindungimu, ik beloof." (aku berjanji)

Ratniajeng tidak bisa menghalau tatapan itu cukup memporak-porandakan isi hatinya. Iris terangnya begitu dalam menatapnya, tajam dan dingin, tetapi penuh dengan perasaan yang tidak dapat Ratniajeng jabarkan.

"Ik ben een zondaar die van een meisje durft te houden dat zo mooi is als jij
" (aku adalah seorang pendosa yang dengan berani mencintai gadis secantik dirimu) ucap Aldert.

"Haruskah saya tersentuh, meneer?" goda gadis itu.

"Oh ayolah," rayu Aldert dengan tawa yang pecah di antara mereka.

"Bagaimana cara seorang pendosa membayar dosanya?"

Bagaimana tatapan itu berubah menjadi begitu dalam dan senyum yang secepat mata berkedip telah pudar. Aldert meletakkan jemarinya di bahu Ratniajeng. "Aku rela mati untukmu, Ratniajeng"

Gadis itu membuang mukanya. Ia tidak bisa menerima pengakuan itu. "Tidak akan ada yang mati."

"Baik itu saya, meneer, kangmas Bhanu atau siapapun itu."

"Ratni!"

Gadis itu mengabaikan Aldert dan berjalan meninggalkan laki-laki itu dengan perasaan bercampur. Ia membenci bayang-bayang kematian orang di sekitarnya. Ia benci jika yang mereka tengah hadapi saat ini adalah kematian. Ratniajeng benci kehilangan.

Siapapun itu.

Haruskah ada yang pergi setelah ini?

"Ratni, wacht!"

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang