LIMA PULUH EMPAT

434 80 4
                                    

Sebuah malam yang takkan mungkin mereka lupakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah malam yang takkan mungkin mereka lupakan.

Jeritan hewan malam dan hanya bintang-bintang tanpa rembulan yang menjadi saksi dua manusia itu jatuh sebab peluru yang menembus kulit. Jurang dengan kemiringan yang curam, tanpa penerangan, seakan menelan mereka ke dalam bayangan. Sebagaimana tubuh itu saling memeluk mencoba untuk bertahan disisa kesempatan. Sedangkan satu kata yang terlintas di akhir sebelum kesadaran menghilang sepenuhnya, adalah Selamat Tinggal.

(-STETOSKOP TUA-)

Tiga tahun berlalu. Agaknya pria berjas abu itu tidak menyadari waktunya.

Dalam pantulan cermin besar berbingkai kayu berukir itu menampakkan wajah yang tidak jauh berbeda dari tiga tahun yang lalu. Hanya gurat yang sedikit menambah sisi tegasnya sebagai pria dewasa yang matang. Benar, perkara matang, ibunya mencoba untuk mengenalkannya dengan putri seorang Jenderal yang jelita. Tapi, janji tetaplah janji.

Takkan ia tergoda dengan keelokan wajah seorang noni. Takkan ia berpaling hanya karena ia butuh seseorang untuk mendampingi. Hidupnya sudah sedari awal memanglah seperti ini, maka biarlah begini.

Pria itu mengancing jasnya dan menatap pantulan wajahnya. Lantas mengenakan sebuah topi berwarna putih untuk memulai hari.

Aldert de Jageer telah kembali.

"Goede morgen, meneer," ucap seorang pekerja muda menyambut Aldert saat ingin menaiki bendinya. Pekerja itu membawakan sebuah surat kabar. Surat yang berisikan nama temannya, Tjipto. Hah, orang itu kini telah menjadi politikus sungguhan dan menjadi begitu dikenal saat ini.

"Bedankt!" Aldert berucap dan memberi upah pekerja itu dengan beberapa sen. "Ah, beritahu orang rumah bahwa aku akan pergi ke perkebunan."

"Baik meneer."

Mungkin akan menjadi tanya, bagaimana rupa kota ini setelah tiga tahun Aldert meninggalkannya. Jujur, tidak ada yang berubah. Hanya saja wabah yang dulu begitu ganas menyerang, kini perlahan mulai mereda. Bersyukur bahwa ada tindakan nyata dari pemerintah walau rasanya itu sia-sia sebab mereka terlambat menanganinya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, begitulah pepatah berkata.

Tiga tahun lalu Aldert meninggalkan tempat ini dan tiga tahun setelahnya ia kembali. Tiga tahun lalu pula ia menghampiri makam William dan sekarang ia kembali berkunjung. Membawa setangkai mawar yang ia beli dari seorang anak pribumi di alun-alun.

"Kabar saya baik papa, setidaknya itu yang terlihat."

Bangunan itu seperti tak terawat. Seseorang mungkin datang membersihkannya sesekali, walau rerumputan liar itu akan kembali tumbuh menutupi batuan makamnya. Siapapun itu, Aldert akan berterimakasih padanya.

Selama ini Aldert seperti bersembunyi dan menyibukkan diri. Ia ingin melupakan setiap luka yang sebenarnya sedikitpun tidak bisa ia lupakan. Sekuat apapun ia mencoba, sejauh apapun kakinya melangkan, tujuannya akan selalu berakhir sama. Ia terlalu bodoh dengan tidak melepas setiap hal yang menyakitinya. Sungguh-sungguh ia ingin lepas, tetapi ia tidak tahu arah jalan yang membawanya menjauh dari masa lalunya.

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang