EMPAT PULUH TUJUH

237 76 0
                                    

"Je lieght toch niet tegen me, Aldert?--Kau tidak sedang berbohong padaku kan, Aldert?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Je lieght toch niet tegen me, Aldert?--Kau tidak sedang berbohong padaku kan, Aldert?"

Mendengar pertanyaan itu, Aldert tak menjawab apapun. Matanya menyorot tajam pada seorang budak yang tengah di siksa di hadapannya. Tubuhnya ringkih dan menahan perih di sekujur tubuhnya. Kini seluruh atensi tertuju padanya.

Benar-benar bagaimana tangannya saling menaut kuat hingga buku jarinya memutih dan urat tangannya terlihat. Matanya memejam perlahan saat erangan budak itu menggema di telinganya bersahutan dengan tawa puas dari orang-orang yang ada disana.

Demi tuhan, Narto menatap Aldert seakan berkata bahwa ia tidak mengungkapkan apapun, tetapi orang itu tahu dengan sendirinya. Aldert paham dan tahu betul jika pemuda itu tidak akan menghianatinya dalam kondisi apapun. Sebab situasi hari ini sudah menjawab serta kesetiaan Narto padanya.

Aldert masih dengan kebungkamannya dan dugaan yang semakin kuat jika ialah yang telah berkhianat. Hingga sosok Pieter telah berdiri di hadapannya dengan pistol yang menempel di dahi Aldert. Laki-laki itu menyeringai menatap Aldert yang bahkan sedikitpun tak gentar. Dengan sukses selama ini Aldert telah membodohi semua orang. Lebih tepatnya itulah rencana Aldert.

"Kau akan menyesalinya, Aldert de Jageer."

"Kenapa saya harus?" tanya Aldert dengan nada yang begitu tenang.

Pieter semakin menekan senjatanya pada dahi Aldert. Bunuh Aldert. Begitulah suara hatinya berbisik.

"Senang telah berhasil menipu kami meneer?"

Aldert benar-benar tertawa, merealisasikan pertanyaan yang dilontarkan oleh Pieter. Sebagian orang yang ada di ruangan itu saling berbisik. Riuh berubah hening saat tangan Aldert menahan pistol itu dengan tangannya dan mengarahkannya pada tempat jantungnya berada.

"Tentu saja. Tembak saja disini, aku tidak ingin mati dengan tengkorak pecah."

"Dengan senang hati, bung!"

(STETOSKOP TUA-)

"Kan ik u vertrouwen, mevrouw?-- Bisakah saya mempercayai anda, nyonya?"

"Natuurlijk!-- Tentu saja!"

Setelahnya terjadi sebuah kesepakatan antara mereka. Ratniajeng tersenyum tipis dengan wajahnya yang sedikit tertutupi selendang. Sampai kepergiannya sang nyonya masih setia pada posisinya dengan amplop di tangannya. Bisakah gadis itu mempercayainya? Jika ia setuju, maka ia takkan bisa mengkhianati siapapun termasuk seorang gadis muda yang baru saja menemuinya.

Wanita dengan gaun satin mewahnya itu berbalik memasuki rumah. Memanggil seorang jongos yang bisa mengantarnya pada paviliun dimana semua pekerjanya tinggal. Hal yang hampir tidak pernah nyonya mereka lakukan. Membiarkan gaunnya sedikit kotor mendekati tempat kumuh yang ditinggali para pekerja.

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang