EMPAT PULUH DELAPAN

219 79 6
                                    

Rupanya temaram rembulan menyamarkan kebengisan yang membuat bumi di bawahnya banjir oleh merahnya darah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rupanya temaram rembulan menyamarkan kebengisan yang membuat bumi di bawahnya banjir oleh merahnya darah.

Saya takkan lagi membual. Takkan menyebar kebencian.
Saya lelah bila harus mengulang kisah yang saya ceritakan pada anda dan membuat anda percaya pada tulisan saya.

Cendanamu ini tak lagi sempurna bila telah nampak siapa penulisnya.

Bukan sastrawan, bukan seorang filsuf ataupun guru besar.

Hanya seonggok Cendana liar yang menginginkan sepetak tanah agar bisa mekar.

Mengapa saya butuh sepetak tanah untuk hidup?
Entahlah, bagaimana bisa saya membutuhkan itu sedangkan kaki saya telah berpijak pada tempat yang seharusnya.

Cendana harus hidup pada sebuah inang.
Harus terbakar dan menjadi arang untuk wewangian.
Merahnya takkan ternoda sebab ia bunga liar yang tidak lebih berarti dari mawar.

Begitulah makna Cendana.
Tiada kemenangan tanpa pengorbanan.
Apa latarmu, warna kulitmu, asalmu, kawanmu, dan pribadimu, semua takkan berarti setelah kau mati. Hanya ada dua pembeda nantinya.

Mati sebagai pahlawan atau mati dalam cercaan kebencian.

Tuan dan nyonya, saya tak ingin mengibaratkan diri bagai Cendana lemah, tetapi sebagai Cendana yang arti hidupnya lebih berharga dari sekedar bunga.

Cendana Adyahsari.



(-STETOSKOP TUA-)

Sang gadis membenci malam. Tapi sepuluh tahun yang lalu seseorang menemaninya dan menyenandungkan sebuah lagu pengantar dengan bahasa yang tak Ratniajeng mengerti. Lain dengan hari biasanya, saat ia lebih memilih berdiam memandang api lilin hingga padam di dalam bilik kamarnya, justru seseorang menemaninya bercerita tentang hari saat orang itu belajar di sekolah.

Gadis itu, ingin merasakan sekolah.

Ketika pemuda itu berbalik, sang gadis terhenyak. Laksana permata indah, cahaya gemerlap bintang terpantul pada manik terang milik pemuda itu.

Apa bintang-bintang itu indah? Begitulah sebuah tanya terlontar dan membuyarkan lamunan sang gadis yang terpaku terus-terusan pada mata indah pemuda itu. Bahkan sang gadis tanpa ragu mengutarakan kekagumannya pada binar manik indah pemuda di hadapannya.

Manik terang yang selalu menjadi permata favoritnya, dari sepuluh tahun lalu hingga...,

saat ini.

Tapi binar itu lenyap. Bergantikan kesedihan dan begitu banyaknya rasa yang tak mampu ia ungkapkan.

"Ratniajeng."

"Hari sudah malam meneer, Helma dan Miriam sudah tidur."

"Ni!" panggil laki-laki itu putus asa saat Ratniajeng tidak sekalipun menatap matanya. Gadis itu enggan melihatnya.

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang