EMPAT PULUH DUA

251 69 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


(-STETOSKOP TUA-)

Malam itu terlalu sunyi untuk seorang tamu berkunjung ke rumah seorang gadis yang hidup sendirian. Ratniajeng bisa jadi tidak membukakan pintu sebab, malam-malam sunyi di Hindia Belanda bukan pertanda baik. Namun suara seseorang membuat keraguan Ratniajeng surut.

Aldert.

Laki-laki itu tidak menjelaskan apapun selain seorang bayi dalam gendongannya dan gadis kecil berambut cokelat yang ia genggam jemari mungilnya. Gerimis mendominasi malam dan jas yang Aldert kenakan sebagai payung mereka telah basah. Aldert seperti seorang yang tengah melindungi putri-putrinya dalam dinginnya malam.

Kehadiran gadis kecil dan seorang bayi perempuan dalam gendongan Aldert cukup mengejutkan Ratniajeng.

Dengan cekatan Ratniajeng mengambil selimut hangat, untuk membungkus tubuh bayi yang tengah menangis dalam dekapan Aldert. Ada kekhawatiran akan keadaan mereka. Ratniajeng bisa menyadari bahwa sesuatu yang buruk mungkin terjadi pada mereka.

"Kami menemukan banyak anak kecil terlantar," ucap Aldert begitu Ratniajeng mencoba menimang bayi itu agar tangisannya terhenti. Wiryo yang merasa terusik dengan suara tangisan, terbangun dan menghampiri Ratniajeng. Bahkan beberapa pekerja di rumah itu turut penasaran dengan apa yang terjadi. Majikan mereka membiarkan seorang pria bertamu di rumahnya, disusul dengan suara tangis seorang bayi perempuan. Cukup menimbulkan banyak tanya bagi mereka.

"Sebelumnya Tjipto juga menemukan seorang bayi yang bernasib sama dan memutuskan untuk mengadopsi bayi itu." Ada cukup banyak anak yang nasibnya sama. Terlantar akibat kedua orangtuanya tewas akibat wabah atau justru nasibnya lebih buruk dari itu. Dibuang karena wabah dan pada akhirnya tewas begitu saja. Sungguh kisah yang memilukan.

Ratniajeng memandang bayi dalam pangkuannya dengan sendu. Begitupula pada seorang gadis kecil yang memeluk pekerjanya, seolah mencari kehangatan serta perlindungan. Tubuhnya gemetar dan masih ada sisa tangis pada wajahnya yang cantik. Keduanya berdarah Eropa.

"Miriam sepupuku, putri dari dokter Edward." Aldert menatap pada Miriam yang beringsut dari pelukan seorang pekerja wanita, mendekat padanya. Kini berlindung di balik lengan Aldert. Miriam takut untuk kembali ditinggalkan. Terlebih ia sadar, bahwa satu-satunya keluarga yang ia kenal, hanyalah Aldert. "Sedangkan bayi itu entah siapa namanya. Usianya masih tujuh bulan dan sebatang kara. Aku tidak ingin menduga akan sesuatu tetapi semua terbukti. Beberapa orang berdarah Eropa yang mengidap penyakit ini diasingkan ke desa-desa terpencil dan hidup miskin bersama pribumi. Termasuk istri dokter Edward dan Miriam. Mereka terjangkit wabah dan menunggu waktu habis dalam pengasingan."

Sungguh demi apapun Ratniajeng tidak menduga hal itu.

"Demi tuhan, andai aku tidak bertemu dengan Miriam... aku mungkin telah menganggap keluarga paman Edward telah tiada." Kegusaran nampak jelas di wajahnya. Ratniajeng juga merasa miris dengan kondisi anak-anak itu. Lantas bagaimana dengan mereka yang 

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang