EMPAT PULUH SEMBILAN

261 71 7
                                    

(-STETOSKOP TUA-)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(-STETOSKOP TUA-)

Pagi setelahnya pintu rumah itu tetap tak menunjukkan bahwa sang pemilik akan membukanya. Aldert masih dengan setia menunggu dan terus saja menunggu hingga hari-hari berikutnya. Menciptakan rasa iba dari para pekerja yang berlalu lalang melewatinya. Mereka saling berbisik dan menyayangkan nasib ndoro putrinya.

Termasuk sang meneer yang dengan nekat mencintai ndoro putri mereka.




Pernah ketika Aldert dengan setia menunggu di beranda depan rumah itu, tuan Wedono tiba dengan sebuah amarah dan kesedihan yang terpampang nyata. Pras tahu bahwa yang dilakukan anak gadisnya adalah sebuah tindakan yang kelak akan menyeretnya pada bahaya, namun tak lantas membuat gadis itu menyerah begitu saja demi kehormatan keluarga. Demi keluarganya yang tersisa.

Pras yang menawarkan keselamatan untuk putrinya, tetapi Pras pula yang gagal menjaganya.

Tapi, kemarahan Pras semakin menjadi sebab ia tahu bahwa seorang laki-laki Belanda dengan berani mencintai putrinya. Tanpa tahu malu menunggu sepanjang hari di beranda rumah.

"Hanya Ratniajeng gadis yang saya cintai." begitulah kalimat yang terlontar ketika Pras memintaya untuk berhenti bertindak bodoh dengan mencintai putri sulungnya. Bahkan berakhir dengan Pras yang memukul wajah Aldert, menimbulkan keributan.

Lebih menyakitkan lagi adalah ketika putranya Wiryo lebih membela laki-laki Eropa itu. Prasangka bahwa Aldert sukses membuat semua orang memihaknya yang merupakan seorang Belanda, makin kuat.

Seluruh pekerja yang melihat itu semakin menyorot Aldert dengan iba. Wajahnya tak lagi tegas dan tampan seperti sebelumnya. Penuh dengan luka dan lebam. Kepalanya terus menunduk, tak lagi ada sorot percaya diri dan dagu yang senantiasa mendongak angkuh. Aldert dengan rela merendah demi Ratniajeng.

"Kembalilah dan jangan pernah temui putri saya!"

"Tidak, sampai saya bisa membujuknya."

"Membujuk untuk apa?!" tanya Pras dengan nada marah.

Aldert frustasi, tapi ia tidak bisa membentak Pras yang tengah dilanda emosi. "Membatalkan pengakuannya yang membuat Pieter van As memercayai bahwa Ratniajeng otak pergerakan kami."

Nada Aldert begitu tenang, namun sarat akan gejolak emosi di dalamnya. Hal itu tidak berlangsung lama, sebab Ratniajeng meminta mereka kembali dan tidak ada yang ingin ia temui.







Lalu semua tetap sama. Tetap dengan Aldert yang menunggu di depan rumahnya bahkan hingga hari kian petang.

Narjiman berkali-kali mengatakan bahwa usaha Aldert akan tetap berbuah sama. Laki-laki itu harus melakukan sesuatu, bukan dengan berdiam diri menunggu Ratniajeng.

Sayangnya tidak ada jalan keluar bagi mereka. Siapapun hingga saat ini belum ada yang memberinya solusi terbaik.






Hingga waktu disaat Ratniajeng menghadap Pieter van As bersama beberapa orang dengan perawakan tentara, namun tanpa seragam melengkapi tubuhnya. Gadis itu menghela nafas dan Miriam yang bersembunyi di belakang tubuhnya, serta Helma di gendongan seorang pelayan.

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang