LIMA PULUH DUA

284 69 6
                                    

Chapter ini berisi flashback scenejadi baca dengan hati-hati ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter ini berisi flashback scene
jadi baca dengan hati-hati ya

Selamat membaca!

(-STETOSKOP TUA-)

"Siapa nama putri kita?"

"Ratniajeng Cendana Adyahsari."

"Artinya?"

Pras menerawang ke arah halaman rumahnya. Pagi yang begitu tenang dan damai dengan dirinya yang menemani istrinya berjemur di bawah matahari pagi. Putrinya begitu manis dan cantik. Namun mereka baru memikirkan namanya.

"Ratniajeng Cendana Adyahsari," ucap Prastowo sembari mengusap lembut pipi putrinya.

Asmarini tersenyum bahagia. "Permata pertama yang secantik bunga cendana," gumamnya mengartikan nama pemberian Prastowo untuk putri kecil mereka.

Prastowo mengusap puncak kepala istrinya dengan bangga. Wanita cantik itu mampu mengartikan nama yang diberikannya untuk sang putri. Nama yang sudah ia fikirkan sejak lama apabila yang terlahir adalah seorang putri.

Ratniajeng. Permata yang cantik. itulah nama yang akan orang kenal di masa depan.

(-STETOSKOP TUA-)

Permata itu tidak tumbuh seperti yang dituntut banyak orang. Gunjingan akan kecerdasannya di atas gadis lain tanpa mengenyam masa sekolah. Muncul dalam lingkaran sosial priyayi kala itu dengan bahasa Belandanya yang fasih saat usianya masih sepuluh tahun. Kata genius untuk seorang wanita tidak akan diterima begitu saja.

Seharusnya didikannya lebih kuat. Didikannya lebih keras. Membaca dan bersosial, terlebih di hadapan orang Eropa bukanlah cara kaum mereka dihormati.

Karenanya, Asmarini yang disalahkan.

Permata yang diasah akan menjadi sebuah perhiasan yang indah. Orang yang tidak mampu membelinya, mereka tidak akan menganggap permata itu indah. Mereka akan mencari pembelaan bahwa perhiasannya jauh lebih baik dibanding permata yang cacat di mata mereka. Permata yang berharga akan menemukan pemilik yang rela menghabiskan hartanya demi mendapatkan benda itu.

Harganya, tidak terhitung oleh sejumlah kekayaan.

Permata itu memiliki kelasnya. Jauh di atas perhiasan biasa.

"Rini harus segera punya anak laki-laki. Kamu ndak bisa terus manut seperti ini. Pras, anak laki-laki yang nanti akan meneruskan semua langkahmu. Bukan Ratniajeng!"

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang