Ada satu tempat yang tidak memiliki garis batas pada kaum-kaum yang mendiami Hindia. Mereka bisa saling berbicara, melakukan sesuatu yang memang harus mereka lakukan. Sejenak mengabaikan status tuan dan pelayan. Hanya ada manusia yang datang untuk saling berjualan dan membeli. Begitu pula yang dilakukan oleh Ratniajeng bersama Jia-Li.
Petjinan. Orang menyebutnya sebagai tempat yang disediakan oleh pemerintah bagi ras Tiongkok yang menetap. Mereka mendominasi perdagangan di sekitar pasar dan hidup dalam pengkotakan yang tercipta. Bukannya damai, mereka justru merasa terkekang.
Hanya Eropa yang bebas tanpa harus merasakan segala gundah yang dirasakan oleh Pribumi maupun ras pendatang.
Jia-Li menunjuk pada rami yang membungkus puluhan jenis rempah pesanannya. Gadis itu tersenyum senang dan mengamit tangan Ratniajeng, mengajaknya berkeliling. Serta melakukan hal yang jarang bisa mereka lakukan bersama. Sebab, semenjak Ratniajeng tidak lagi tinggal di rumah ayahnya, mereka jarang memiliki kesempatan untuk berjumpa. Jarak mempersulit perjumpaan keduanya.
"Goede morgen, nona," ucap seseorang menghadang langkah keduanya. Seorang laki-laki Eropa berperawakan tegap dengan rambut pirang tersisir rapi tengah menyapa. Ada senyuman yang mengganggu bagi Ratniajeng, tetapi ketika ia menyadari keberadaan Aldert di belakang orang itu, Ratniajeng bisa menebaknya. Pieter van As? Setidaknya begitulah yang tergambar di manik mata seorang Aldert de Jageer yang seketika mampu gadis itu baca.
Tanpa terkecuali Jia-Li. Reflek tubuhnya sedikit mundur ke belakang dan membiarkan Ratniajeng menghadapi Pieter secara langsung. Gadis itu berbisik pelan, "Pieter van As juga sempat mengincar tanah Petjinan."
"Goede morgen, meneer," balas Ratniajeng datar. Jia-Li juga melakukan hal yang sama.
"Goede morgen, meneer."
"Hari yang cerah untuk berbelanja di sekitar pasar," Lanjutnya berbasa-basi.
"Basi seperti tape buatan babu di rumahmu," bisik Jia-Li.
"Tentu saja, meneer." Entah kelas teater mana yang Ratniajeng ikuti hingga bisa berbicara setenang itu, berbanding terbalik dengan kedua tangannya yang saling mengepal di sisi tubuhnya. Ratniajeng tetap anggun dalam menjaga emosinya.
Pieter tersenyum. "Bukankah anda cucu tuan-- Patih?"
Entah Pieter melakukannya dengan sengaja atau karena bodoh. Laki-laki itu baru bertemu Ratniajeng, namun seperti telah mengenalnya. Laki-laki seolah tengah menantang Ratniajeng atau sekedar ingin melihat kebodohan seorang pribumi.
Maka akan Ratniajeng kabulkan dengan senang hati.
"Saya tidak menyangka bahwa meneer akan mengenali saya," balas Ratniajeng dengan nada begitu lembut. Sialnya, Aldert secara sadar berdecih di belakang Pieter dan itu mengundang senyum tertahan Jia-Li.
KAMU SEDANG MEMBACA
STETOSKOP TUA
Historical FictionHistorical Fiction #2 By: Alwaysje - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - [Tamat] Lewat sebuah surat dan stetoskop tua. Digariskan dan dihubungkan kisah dari mereka yang berdiri di atas merahnya tanah akibat penjajahan Eropa. Dinaungi kerajaan as...