Ratniajeng selalu memaksakan dirinya. Menunjukkan pada dunia bahwa ia baik-baik saja. Tidak ada yang mengatakan bagaimana keputusan pengadilan untuk eyang kakungnya dan waktu terus saja berlalu. Sampai-sampai gadis itu meragu, mungkinkah mereka dapat kembali bertemu?
Sialnya, Ratniajeng tengah terjebak dalam pikiran negatifnya. Gadis itu menghela nafas berat dengan jemarinya mulai memijat pangkal hidungnya.
"Apa yang membuatmu risau?" tanya Bhanu meletakkan buku catatan pribadinya. Ratniajeng menerima buku itu dan membaca setiap baris tulisan Bhanu. Indah, rapi dan tegas. Tulisan Cendana Merah bermula dari Ratniajeng yang mengagumi gaya tulisan Bhanu.
Dalam bukunya tercatat, selama ini para dokter itu menyebar ke seluruh desa dan mengobati setiap warga yang memiliki kesempatan untuk pulih dari wabah. Mengurangi jumlah kemungkinan korban wabah secara diam-diam di malam hari. Setidaknya ada enam desa yang berhasil mereka selamatkan dan masih terdapat beberapa desa lain yang belum mampu mereka jangkau. Belum ada Belanda yang membau langkah mereka. Masih, mereka masih memiliki kesempatan melanjutkan misi rahasia ini.
Sedangkan yang Bhanu lakukan adalah mengirim tulisannya kepada media cetak dengan nama anonim. Menyebarkan segala keburukan dan kelakuan pihak Belanda yang sebelumnya pernah dituliskan dalam surat Cendana Merah. Mulai dari penanganan buruk pihak Belanda pada pribumi yang terjangkit wabah hingga praktik hutang dan pergundikan yang semakin merajalela. Keduanya menyimpan satu kartu penentu yang mungkin bisa menjadi sebuah bom waktu bagi pihak Belanda.
Perampasan harta dan tanah pribumi.
Lebih dari itu semua, Bhanu melarang meras Cendana Merah melancarkan provokasinya.
"Kangmas Bhanu juga melakukan hal yang sama," dengus gadis itu merasa ini tidaklah adil baginya. Mereka sama-sama mempertahankan hal yang sama, memiliki tujuan yang sama, tetapi hanya ia yang tidak diperbolehkan melangkah lebih jauh sebab ia wanita.
Bhanu tertawa menanggapi. "Jadilah saksi perjuangan kami, Ni."
"Saksi apanya?" sindir gadis itu kesal.
"Berjalan lancar atau tidak, selamat atau mati, merdeka atau musnah, itu pilihan kita. Jika semua mati, siapa yang akan menjadi saksi nanti?" ucap Bhanu berusaha menekankan satu hal pada Ratniajeng. Perihal kemungkinan terburuk yang akan menyeret mereka nantinya. Tidak akan ada sejarah tanpa ada saksi dan bukti. Tidak akan ada cerita jika semua berakhir mati secara bersama-sama. Satu permintaan Bhanu, gadis itu tetap hidup, gadis itu tidak perlu menjejakkan kakinya pada bahaya dan kelak akan ada cerita dari perjuangan mereka yang terlontar dari bibir gadis itu.
Harapan dan permintaan.
"Ni, sejauh ini kita bersama-sama berdiri dan kau sudah membantu cukup banyak. Tuan patih tidak serta merta menyerahkan diri hanya untuk melindungi tanah dan wilayahnya, tetapi juga cucu kesayangannya. Kangmas berbicara bukan sebagai rekanmu, tetapi sebagai kangmas yang telah lama mengenalmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
STETOSKOP TUA
Historical FictionHistorical Fiction #2 By: Alwaysje - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - [Tamat] Lewat sebuah surat dan stetoskop tua. Digariskan dan dihubungkan kisah dari mereka yang berdiri di atas merahnya tanah akibat penjajahan Eropa. Dinaungi kerajaan as...