Happy reading!
(-STETOSKOP TUA-)
Meneer, meneer dan selalu saja Aldert mendengar panggilan meneer dari bibir gadis itu. Tak ia kira jika gadis yang mengekorinya sedari tadi rupanya lebih berisik dari yang ia duga. Meneer ini lah, meneer itulah, meneer mengapa begini, meneer mengapa begitu. Sampai-sampai Aldert lelah menanggapi rasa penasaran gadis itu. Aldert bahkan saking lelahnya menghentikan langkah secara tiba-tiba dan membuat gadis itu menabrak punggungnya karena gelap.
Gadis itu meringis merasakan dahinya nyeri akibat punggung keras Aldert.
"Mengapa meneer berhenti?"
"Tidak bisakah kau berhenti bertanya?" Geram Aldert. Laki-laki itu menghela nafas menatap Ratniajeng dalam remang-remang. Tanpa cahaya mereka menyelinap di antara gang-gang sempit rumah warga. "Kita tengah menyelinap jika kau lupa."
Ratniajeng membungkam bibirnya dan kembali mengikuti langkah kemana sang meneer berhenti.
Ratniajeng memang tidak pernah memijaki dunia luar. Tidak pernah tahu kehidupan seperti apa yang selalu mereka sebut menyedihkan. Pribumi... bagaimana mereka diperlakukan dan bagaimana cara mereka bisa bertahan. Sunggug Ratniajeng tidak pernah merasa puas dengan hidupnya yang sekarang. Sebagai putri wedono. Bukan bangswan yang temurun mewarisi biru darahnya. Dia hanya kebetulan hidup selayaknya bangsawan. Pribumi tetaplah pribumi.
Sebuah gubuk di ujung gang dihampiri Aldert. Tangannya membuka pintu dan membiarkan aroma mengganggu indra penciumannya. Seolah Aldert tidak merasakan demikian. Tapi Ratni enggan untuk masuk ke dalam. Miris, keadaan di dalamnya hanya ada orang-orang yang mendampingi sebuah mayat tergolek tak bernyawa akibat wabah. Mereka menangis pada Aldert, mengadu bahwa mereka bisa saja mati dan memohon hutang tenaga agar Aldert mau membiarkan mereka tetap hidup. Seolah Aldert sang pemilik nyawa mereka.
"Sedari awal aku tidak yakin denganmu. Ini bukan tempat untuk gadis bangsawan sepertimu," ujar Aldert yang keluar dari gubuk itu menghampiri Ratniajeng di luar. Malu, ini wilayah seorang lurah yang dibawahi ayahnya sendiri. Tidak terlaksana pemerintahannya dengan baik. Tidak merata, para budak miskin makin sengsara.
"Meneer juga tidak seharusnya disini."
"Mengapa tidak?"
"Sejak bila ada Belanda totok yang peduli pada pribumi?"
Aldert terdiam. Raut wajahnya berubah mendingin. "Kau hanya belum mengenal semua orang Belanda, nona."
"Lebih baik kau tunggu di luar saja," usul Aldert karena ia tidak mau gadis itu jadi tidak nyaman karena mengikutinya. Yah, walaupun itu adalah keinginan Ratniajeng sendiri dengan mengikuti Aldert.
Kembali ia menghadap satu keluarga itu dan menatap miris pada mayat ayah mereka yang tergeletak di atas dipan kayu. Mereka mengatakan jika ayah mereka meninggal subuh tadi, namun tidak ada yang mau menguburkan tanpa imbalan. Membuang mayatnya ke sungai juga mereka tak kuasa. Akhirnya mereka hanya menunggu hingga fajar esok tiba dan menguburkan mayat ayah mereka dengan peralatan seadanya. Mereka miskin, tak memiliki sepeserpun uang untuk membayar penggali kuburan dan juga tanah kuburannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
STETOSKOP TUA
HistoryczneHistorical Fiction #2 By: Alwaysje - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - [Tamat] Lewat sebuah surat dan stetoskop tua. Digariskan dan dihubungkan kisah dari mereka yang berdiri di atas merahnya tanah akibat penjajahan Eropa. Dinaungi kerajaan as...