Happy reading
----
(-STETOSKOP TUA-)Dalam remang malam itu. Disebuah rumah, berkumpul beberapa pria. Hanya sebuah lampu teplok di tengah meja yang menjadi penerangan mereka.
Semakin diam kala sebuah kertas di bakar dan hangus dengan cepat, berubah menjadi abu di atas meja.
Lantas seseorang yang membakar kertas itu berkata.
"Tidak ada yang bisa diharapkan."
"Tidak ada jaminan perlindungan dan obat-obatan."
Malam itu menjadi semakin hening. Mereka sudah menebaknya. Mana mungkin akan ada tindakan yang lebih nyata dan positif untuk membantu mereka. Bak sebuah panggilan jiwa, mereka pergi ke sebuah kota, jantung sebuah wabah yang merebak. Diam tak akan menghasilkan apapun. Tetapi bergerak juga belum tentu membuat wabah itu menunduk ampun.
Diamuk hama, diserang wabah, direndahkan pemerintah, dibabat tanahnya. Dari semenjak tipu daya itu dimulai, sudah lama mereka terancam nyawa.
Sekarang. Tjipto hanya berserah pada tuhan, bahwa hidup, mati, sakit dan sembuh ada di tangan-Nya. Bukan perkara ia merendah atau pesimis dengan hasil kemampuannya. Ia percaya jika kesembuhan atau mukjizat itu nyata.
Tapi,
tidak semua bisa dilakukan hanya dengan berserah nyawa.
Mereka berada di medan pertempuran. Bukan hanya penjajah yang mereka lawan. Tetapi juga sebuah wabah yang datang entah darimana.
Tiada yang mau turun kesana.
Maka Tjipto maju mempeloporinya.
"Genees ze of sterf tevergeefs." (sembuhkan mereka atau mati sia-sia)
"Doe het nou maar," (lakukan saja) ucap Aldert berdiri dari tempatnya. Mengambil coat dan mengenakannya. Udara malam disini cukup dingin.
"Dan kau sendiri?" Tanya Tjipto.
"Aku akan membantu jika perlu."
Jawaban asal itu membuat pria Jawa yang sedang bersandar dengan jemari saling menaut, melirik tajam membalas. Rasanya Aldert seperti bermain-main dan tak pernah serius berdiri bersama mereka.
Hari ini ia bersikap seperti tidak peduli dengan perjuangan dokter bumiputera, esoknya rupanya ia diam-diam membantu menemukan informasi membantu mengenai bagaimana cara menangani wabah ini. Sikapnya plin-plan. Sedangkan Tjipto tidak menyukai itu. Terlebih Alderts masih belum bisa memutuskan kemana kakinya akan melangkah.
Membela bangsa Hindia atau kaumnya.
Bukan sekali-dua kali Tjipto ataupun Bhanu memperingatkannya. Namun Alderts mengabaikan mereka.
Setidaknya Aldert sadar, jika kini ia berdiri di antara dua pilihan yang sama-sama tidak memberinya keuntungan. Maka ia masih akan menundanya entah sampai kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
STETOSKOP TUA
Historical FictionHistorical Fiction #2 By: Alwaysje - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - [Tamat] Lewat sebuah surat dan stetoskop tua. Digariskan dan dihubungkan kisah dari mereka yang berdiri di atas merahnya tanah akibat penjajahan Eropa. Dinaungi kerajaan as...