EPILOG

745 91 17
                                    

(-STETOSKOP TUA-)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(-STETOSKOP TUA-)

Di loteng yang sedikit gelap itu, mereka masih berusaha menemukan teka-teki dari setiap bukti masa lalu yang ada. Seperti kapsul waktu yang membawa mereka pada satu abad yang lalu. Masa yang kontras dengan segala sesuatu yang modern dan pemikiran yang modern pula. Stetoskop Tua tidak cukup menjawab tanda tanya mereka. 

Sampai sebuah foto seorang wanita anggun dengan kebayanya tengah duduk. Sementara seorang pria berdiri di belakangnya begitu gagah, dominan dan nampak kecerdasannya.

Siapa yang menduga jika akhirnya jauh diluar dugaan semua orang.

Jauh berbanding dari diary tua dan stetoskop tua yang mereka temukan. Entah apakah mereka menikah atau ini hanya sekedar foto tanpa arti tertentu. Mereka benar-benar terhanyut pada kisah mereka.

(-STETOSKOP TUA-)





"Ik wil die vrucht niet eten!-- Aku tidak ingin makan buah itu!"

"Waroom weiger je altijd?-- Mengapa kau selalu menolak?"

"Het voelt raar, ik vind het niet leuk!- Rasanya aneh, aku tidak menyukainya!" Keluh seorang anak dengan suaranya begitu menggemaskan.

"Deze vrucht of een glas melk?-- Buah ini atau segelas susu?"

"Waroom zou ik keizen?-- Mengapa aku harus memilih?" kembali menggerutu kesal gadis itu menutup bibir dengan tangan mungilnya yang pucat kemerahan.

Tidak susu ataupun buah jambu. Oh ayolah, setiap hari ia harus dipaksa meminum susu dengan aroma sapi yang pekat. Ia hanya mau segelas coklat, tetapi grandma-- wanita yang merawatnya selama ini tidak akan biarkan giginya rusak satu persatu karena manisnya coklat.

Susu lebih baik untuk anak seusianya.

"Helma--" panggil wanita paruh baya berkebaya yang sedari tadi memerhatikan interaksi anak kecil itu. Nakal, tapi menggemaskan.

"Zijn er  gast?-- Apakah ada seorang tamu?" Rasa penasaran itu mengundangnya untuk lebih mendekat pada tamu yang cukup asing baginya. Mencari-cari alasan saat namanya dipanggil. Helma berlari menuju depan rumah melewati halaman samping, mengintip. Dilihatnya lamat-lamat seorang dengan tubuh lebih tinggi dari Bhanu, sementara Bhanu sendiri baginya adalah selayaknya raksasa.

Sangat tinggi. Helma kecil hanya sebatas pinggangnya.

"Kom binnen, Helma!" Sahutan seorang pemuda membuat anak gadis itu menggeleng kuat dan merampas buah yang sebelumnya ia tolak dan berlari pada seorang tamu yang tengah berbincang dengan Bhanu. "Heh arek mentik!"

STETOSKOP TUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang