Happy reading!
(-STETOSKOP TUA-)Pras memang tidak main-main dengan titahnya hari itu. Seminggu berlalu, Asmarini hanya duduk termenung di kamarnya. Semakin merenungi nasibnya yang seolah tak berjalan sesuai harapannya. Tak sesuai bayangannya saat menerima bujukan rayu cinta pria itu.
Bukankah pria itu mencintainya?
Memang. Tapi jenuh mungkin bisa mengubah rasa seseorang.
Atau-- entahlah, Ratniajeng sendiri sama jenuhnya dengan sikap Pras yang tidak menentu itu. Terkadang seperti seorang pria yang bertanggung jawab akan keluarganya, terkadang pula seperti orang yang tak berpendirian teguh atas keputusannya. Lantas, mengapa Asmarini masih tetap bertahan walau sudah berkali-kali dikecewakan.
"Ibuk ndak mengharapkan romo-mu sempurna seperti eyangmu. Bisa menghargai dan menghormati wanita. Ibuk menerima romo-mu karena ibuk sadar, sudah terlalu jauh kita sampai melepaskan-pun enggan rasanya."
Ratniajeng terdiam di bawah kaki Asmarini. Wanita itu-- mungkin tampak lemah. Tapi tidak hatinya.
Asmarini mengusap pelipis Ratniajeng yang membekas sayatan disana. Lukanya sedikit membaik berkat dokter itu. Keesokan harinya setelah senja di Dam, laki-laki Belanda itu datang guna memberikan salep racikannya sendiri untuk memudarkan bekas luka di pelipis dan telapak tangan Ratniajeng.
Gadis itu tak mengira jika ucapannya akan ditanggapi serius. Berkatnya, luka Ratniajeng berujung membaik. Walaupun Ratniajeng sendiri bisa mengolesi lukanya dengan getah yodium untuk bisa menghilangkan bekas lukanya.
Lagi, kesan baik laki-laki itu membekas pada Ratniajeng.
"Maafin ibuk ya, ndhuk," ucap Asmarini lemah. Jemarinya menyisir rambut panjang Ratniajeng dan menatanya, kemudian membentung sebuah gelungan rapi disana. "Ndak bisa jadi ibuk yang baik buat kamu sama Wiryo."
"Ibuk tau Wiryo?" tanya Ratniajeng.
"Adikmu."
"Maja itu Wiryo buk."
"Ibuk tahu."
"Buk—" Gadis itu membalik, mendapati tatapan teduh Asmarini disana menyambutnya.
Kemudian Ratniajeng tahu jika ibunya akan kembali menganggap dua nama itu orang berbeda setelahnya. Asmarini hanya sedang berusaha membohongi dirinya sekarang.
Menghela nafas panjang, Ratniajeng kembali menghadap ke depan. Membiarkan wanita itu bermain dengan rambutnya. Menghiasnya dengan mawar yang dipetik oleh Yayuk dari halaman subur rumahnya.
"Turuti romo-mu, panggil wanita itu biyung."
"Ndak, Ratniajeng ndak mau."
Gadis itu mencebik.
KAMU SEDANG MEMBACA
STETOSKOP TUA
Historical FictionHistorical Fiction #2 By: Alwaysje - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - [Tamat] Lewat sebuah surat dan stetoskop tua. Digariskan dan dihubungkan kisah dari mereka yang berdiri di atas merahnya tanah akibat penjajahan Eropa. Dinaungi kerajaan as...