4. Pinky Encounter

154 17 5
                                    

"Ada tambahan lainnya?"

Aku menggelengkan kepala dan kembali menunduk, menolak untuk beradu tatapan dengan penjaga kasir di hadapanku.

"Semuanya jadi lima belas ribu," katanya datar, membaca nilai yang tertera di layar komputer.

Aku meraih uang yang terbenam di kantung celana, hanya tersisa satu lembar berwarna merah di dalamnya. Sial! Padahal menu yang kupilih betul-betul good deal. Tiga buah onigiri karena ada promo buy two get three akibat tanggal kadaluwarsanya sudah lewat satu hari. Tapi kuperhatikan dengan seksama, kondisinya masih bagus, kok. Yang penting tidak ada ulat belatung yang menggerayanginya.

Tadinya aku hendak mengambil juga satu botol air minum dari dalam kulkas yang suhunya dingin untuk membantu meredam rasa gerah. Setelah sekian lama meneguk cairan dari keran yang rasanya aneh dan sedikit berbau besi, air suling di dalam kemasan bahkan saat ini bisa menyerupai white wine di pikiranku. Namun untungnya, aku masih bisa menahan diri.

"Ma-maaf, Pak," kata perempuan di depanku seraya menggertakkan gigi, berusaha menarik uang seratus ribu yang terus kujepit dengan kedua jari, tidak rela untuk kuberikan padanya.

"Ah!" teriakku di saat ia akhirnya berhasil meraihnya, bagaikan separuh rohku ditarik keluar, pergi meninggalkan tubuhku yang seketika lemas.

Berkurang lagi jumlah uangku, yang artinya koleksi pakaian terakhir yang kumiliki harus segera dijual apabila masih mau bertahan hidup. Tidak! Aku tidak mau berpisah dengannya! Aku baru memakainya sekali saja di acara itu yang menjatuhkan namaku di hadapan semua orang. Sialan memang mereka semua! Dasar sok tahu! Fitnah! Aku bukan ga—

"Bakrie Hartanto mengaku antusias terhadap penggabungan kedua perusahaan dan menjanjikan bakal terjadinya kerja sama yang baik demi meningkatkan kualitas perusahaan dan penjualan."

Tatapanku menghadap ke atas, ke arah layar televisi yang tergantung tinggi, tengah memunculkan sosok Papa di layarnya. Ia bergegas memasuki kendaraan yang telah siap di muka bandara, meninggalkan para wartawan yang terus saja mengejarnya.

Sudah tiga tahun aku tidak berjumpa dengannya. Ubannya semakin bertambah di usianya yang tidak muda lagi. Bahkan garis keriput pun tampak lebih jelas di dahi dan sekitar matanya. Tapi ... kenapa ia tidak terlihat seperti kehilangan anaknya ini?! Buktinya area perutnya lebih maju ke depan, terisi lemak dari hasil santapan yang melimpah. Ugh! Mungkin Papa juga bahagia anak tidak bergunanya kabur dari rumah.

"Olivia Hartanto, yang merupakan penerus Hartanto Developer, hingga saat ini masih belum bisa dihubungi. Sedangkan satu lagi cucu keluarga Hartanto, Bima Hartanto, tidak pernah tampak semenjak dibebaskan dari penjara akibat kasus plagiarisme yang dilakukannya."

"Kembaliannya—eh?"

Ucapannya terhenti ketika kedua matanya menatap mukaku. Bibirku tepatnya. Kenapa jarang sekali ada orang yang melihat langsung ke kedua mataku, sih?! Ya, ya. Aku tahu bibirku menggoda. Tapi tidak perlu sampai sebegitunya juga, dong!

Kutarik lebih bawah hoodie yang sejak awal menutupi kepala dan kuraih kasar uang kembalian yang disodorkannya. Kulangkahkan kedua kakiku pergi sebelum wanita muda tadi mengenali siapa diriku ini yang hingga sekarang masih juga sering diberitakan media.

Bahkan cuaca tidak berada di pihakku. Awalnya yang kukira hanya sebatas mendung saja, ternyata rintikan hujan berubah deras serentak setelah aku berjalan keluar dari minimarket. Pantas saja sejak tadi begitu panas, sesak, dan lembap. Hahhh~. Hujan-hujanan lagi. Padahal kaus yang lain masih belum kering.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang