22. Pinky Rival

60 8 3
                                    

"John," panggil si Kacamata, "he's ready," tambahnya seraya menepuk pelan pundakku sebelum akhirnya melangkahkan kedua kakinya maju ke tempat pria yang ditujunya berada.

Puluhan pasang mata menatap ke arahku. Beberapa saling berbisik serta menunjuk, seratus persen blak-blakan tengah membicarakanku dan tidak berupaya untuk menutupinya sedikit pun. Kenapa? Terpesona dengan bentuk tubuhku, yah?

"Finally! Let's finish this!" ucap John yang masih juga sibuk dengan kamera di tangannya. Nadanya galak dan jauh berbeda dari kemarin itu, saat terakhir kali kami bertemu. Mungkin ia tidak suka kalau Antony—pria yang lebih diinginkan untuk dijadikan modelnya—tidak berada di sini. Dasar banci ganjen.

"Gue harus ngapain?" bisikku pada si Bocah.

"... Hah? Kok malah nanya gue?" balasnya bertanya dengan alis yang naik sebelah, kebingungan. "I don't know. I'm not the model here. Biasanya gimana?"

Euh ... 'biasanya'? Catat. Ini baru kali kedua aku bekerja sebagai model. Jadi, mana aku tahu?

Waktu photoshoot kemarin itu kan aku yang merupakan figuran hanya cukup diam saja, menerima arahan dari John. Jangan lupakan juga model utamanya yang sepenuhnya mengambil alih sesi pemotretan serta kesibukannya menyentuh serta menggerayangi tubuhku. Ugh! Alhasil, aku cuma ikut alur saja. Alias pasrah.

Nah, sekarang. Yang mana model utamanya? Kok tidak ada seorang pun yang maju?

Dari sekian banyaknya model pria di sini—mayoritas bule, cuma segelintir yang merupakan Asia—hanya aku sendiri yang saat ini hampir telanjang sedangkan tubuh mereka semua tertutupi bathrobe. Hingga kini juga tatapan setiap mata masih tertuju kepadaku.

Tapi, kenapa sekarang malah kesannya seperti mengejek begitu, sih?! Apa juga salahku? Lihatnya kok begitu amat? ... Oh! Mungkin mereka iri. Ya, pasti karena itu.

"C'mon! What are you waiting for?! You're the only one left!" bentak John dengan nada yang semakin meninggi. Kali ini ia sepenuhnya menghadap ke arahku dengan rautnya yang masam.

"Euh ... model utamanya?"

"Where's the main model?" Untungnya si Bocah cepat tanggap dan segera menerjemahkan kalimat pertanyaanku padanya.

"Huh? What are you talking about? There's no such thing for today's photoshoot. Everyone goes solo. Once we're done taking pictures, it's up to the higher-ups to pick their model for the whole season," jelas John tanpa jeda. "So, get on bed, Newbie."

"... Apa katanya?"

"Lo disuruh naek ranjang."

"Hah? Kalimatnya panjang gitu tadi, tapi udah, artinya cuma 'naek ranjang'?" tanyaku tidak percaya. Saat ini pun aku mulai mencurigai kemampuan bahasa Inggris si Bocah. Jangan-jangan dia juga kewalahan ketika dihadapkan oleh sosok seperti John yang mulutnya tidak ada rem.

"Chop, chop!" bentak John seraya melipat kedua tangannya di dada.

"Buruan! Dia nungguin!" teriak si Bocah tidak sabar dan juga malah mengikuti gestur John.

Luas ruangan ini tidak jauh berbeda dengan gudang tempat pemotretan pertama yang kuhadiri. Namun bukan terang fluorescent yang kali ini timbul, melainkan cahaya kekuningan lampu yang berpendar cukup lemah sehingga menghasilkan nuansa remang-remang dan sedikit gelap.

Kalau kemarin itu didekor dengan ala modern—sofa hitam berbentuk L dengan coffee table dari kaca dan pot tanaman di atasnya, juga dilengkapi dengan lampu gantung dan furniture lainnya—kali ini hanya terdapat satu buah ranjang king size tepat di tengah. Seprai putih yang menutupinya sedikit tampak di bawah bed cover berwarna merah rose yang acak-acakan dan cukup berantakan. Jangan lupakan juga kelopak bunga mawar sebagai dekorasi yang bertebaran di sekeliling lantainya.

"John."

Tiba-tiba saja sebuah panggilan terdengar di saat aku masih berdiri kaku berusaha mencerna situasi. Suaranya yang keras meredakan mereka semua yang masih juga tanpa henti mengoceh dan akhirnya keheningan muncul.

Seorang pria bule melangkah keluar dari tengah kerumunan dengan gayanya yang angkuh. "I think he's lost. Mind if I show him how it works?" tanyanya sambil menanggalkan bathrobe yang sebelumnya membalut tubuhnya dan menjatuhkannya asal ke atas lantai.

"Eh, eh," ucap si Bocah seraya berkali-kali menyikut lenganku dengan terlalu bersemangat, "itu Mikaell Claggert, 'kan?"

"Hah? Mika siapa? Barusan dia ngomong apaan?"

Memang sih, si Mika itu tergolong cukup tampan—dark blonde, iris mata biru, rahang tegas, dan rambut halus tumbuh teratur di sepanjang dagunya—dan aura modelnya terpancar dengan kuat. Terlalu kuat, malah. Bersinar-sinar begitu. Sepertinya juga masih sangat muda kalau dibandingkan dengan usiaku ini. Ugh! Entah kenapa aku malah jadi minder dan berasa mirip om-nya.

"Dia bilang apa tadi?!" tanyaku lagi karena belum juga mendengar kalimat terjemahan yang kuharapkan keluar dari mulutnya.

... Eh? Woi!

Tatapan si Bocah malah melekat pada si Mika itu dengan kedua mata yang berbinar, juga dilengkapi senyuman manis pada wajahnya hingga memunculkan sedikit lekukan di sisi kiri dan kanan mulutnya. Apa-apaan dia?! Bahkan belum pernah sekali pun ia bertingkah seperti itu kepadaku! Menyebalkan sekali!

"Btw, lo ngerasa dingin ga?" tanyaku seraya sedikit bergidik, menyadari kalau seluruh rambut di tubuhku sudah berdiri tegak dengan sempurna.

Aneh juga kenapa aku bisa menggigil begini. Padahal hujan sudah reda sejak tadi. Kuperhatikan beberapa AC di setiap pojok ruangan juga dalam keadaan mati dan tidak mengembuskan kesejukannya sama sekali. Tapi ... kenapa dingin betul rasanya?

"Hm? Ga, tuh," jawabnya cuek. Si Bocah kemudian berpikir sejenak dan tiba-tiba saja mengembuskan napas dengan keras. "Ya, iyalah, dingin. Lo kan koloran doang!" ucapnya menghina. "Gue malah gerah nih kerasanya," tambahnya sambil menarik dan menggerak-gerakkan kerah bajunya, berusaha menyalurkan sedikit angin ke tubuhnya.

Bah! 'Gerah' katanya? Gerah karena melihat berbagai pose menjijikkan yang ditunjukkan oleh si Mika, maksudnya?

Kenapa aku bisa bilang 'menjijikkan'? Perhatikan saja gayanya kali ini yang sedang mengecup mesra selembar kelopak mawar dengan diiringi desahan panjang. Kenapa juga harus mengeluarkan suara memuakkan seperti itu, sih? Kan jelas tidak akan bisa terekam kamera juga. Dasar model tolol!

Lihat. Sekarang malah ditambah dengan tatapannya ke arah John dengan kedua mata yang separuh mengedip. Bleh! Mungkin dia berupaya untuk mengundang perhatian para penonton yang menyaksikan. Mengerikan sekali, bukan? Heh, Mika! Mending melek yang benar saja, deh! Kamu yang sekarang bagaikan bermata bintitan. Buka gak bisa, tutup juga gagal total.

"Great job, Mike! You're totally a pro!" ucap John diiringi dengan tepuk tangan yang keras.

Hah? John terpukau? Gak salah?

"Get it now, Noob?"

Apaan coba? Si Mika barusan berbisik ke telingaku, juga sepertinya terkekeh sebelum berjalan pergi karena sedikit embusan napasnya mengenai pipiku. Fix! Dia pasti mengejekku! Siapa dia? N—jis, deh! Baru juga six pack, sudah seperti itu kelakuannya. Noh, lihat punyaku. Eight pack.

"Keren banget yah, posenya."

What?! Si Bocah malah memujinya juga? Asli, deh! Dasar anak kecil! Gak punya mata! Dia bisa matematika tidak, sih? Masa tidak tahu kalau delapan itu lebih banyak, alias lebih bagus daripada enam?!

"Hey, Newbie! Your turn now! Hurry up!" teriak John kembali galak dan melambaikan tangannya menyuruhku untuk segera mendekat padanya.

Huh! Lihat nih, Bocah! Perhatikan! Yang kayak gini yang harusnya kamu puji, bukan si Mika bintitan itu!

Euh ... semoga saja aku tidak akan malu-maluin.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang