"Hei, Bim. Udah sampe?"
"Hm," jawabku singkat mengiakan karena masih merasakan gemuruh di perut akibat mabuk udara.
Penerbangan tadi betul-betul kacau. Turbulance parah akibat cuaca buruk ditambah dengan kemampuan pilotnya yang kurang meyakinkan karena mendarat tidak mulus juga terus bergoyang dan berayun. Bahkan sepertinya ikan pada sushi yang tadi kutelan pun tengah sibuk berenang-renang mengarungi ususku.
"Yakin, ga perlu gue jemput?"
"Ehm ...,"—wajahku menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum akhirnya aku berhasil menemukannya di antara para penjemput—"yakin," jawabku segera di saat sosoknya terlihat jelas oleh kedua netra—muka galak dan bibir yang maju terlalu ke depan.
Ia berpakaian kasual, kemeja dasar putih motif stripe vertikal pink yang disisipkan rapi ke dalam celana jeans berwarna gelap. Dipadukan dengan sneakers putih dan tali ikatannya yang berwarna merah muda, sosoknya bersinar dan menarik perhatian walaupun terlalu sederhana. Bukan. Pasti bukan karena parasnya. Memang warna kesukaanku memberikan efek menawan dan memikat perhatian siapa saja. Ya, pasti karena itu.
"Lama banget, sih!" teriak si Bocah. Kelakuannya masih juga mengerikan, sama seperti biasa-biasanya. Baru juga bertatap muka, ia segera saja mencak-mencak tidak karuan.
Aku lupa memberitahukannya kalau telah terjadi delay selama lebih dari dua jam lamanya. Tapi itu kan bukan salahku. Buktinya aku juga harus menunggu di gate keberangkatan dengan penuh kebosanan. Katanya sih, karena diperlukannya pengisian bahan bakar dan pengecekan mesin, yang mana gak professional banget. Harusnya ngerjainnya jangan mepet, dong! Udah mau terbang, baru dicek. Bagaimana?!
"Heh? Siapa, tuh? Gue kayak kenal—"
Segera kututup panggilannya sebelum ia mengenali suara si Bocah. Bisa bencana nanti kalau Antony sampai tahu kalau sudah berani-beraninya aku menjebak adiknya. Yang awalnya membantuku untuk mendapatkan pekerjaan ini kan kakaknya. Yah, walaupun gara-gara dia juga aku harus kembali bersentuhan dengan topik gay yang kubenci. Ugh, semoga photoshoot nanti aku dipasangkan dengan wanita normal.
"Udah mau mulai, nih," ujarnya seraya menatap waktu yang tertera di layar ponselnya. "Bersyukur lo, ada gue. Barusan gue udah kirim message ke John, bilang lo baru aja mendarat."
Aku berjalan maju seraya menarik koper, berusaha mengikuti langkah kakinya yang terlalu cepat di depanku. Gawat, gawat. Rasa ngilu itu mulai muncul lagi di kaki kananku karena terlalu bergegas. Tangan kiriku juga masih mengelus perut, bahkan saat ini rasa tidak mengenakkan itu mulai berjalan naik ke area dada. Ugh!
"Buruan!" bentaknya, menoleh ke arahku selama kurang dari sedetik dan kembali melajukan kecepatan kakinya menuju area parkir.
Huh! Kalau saja aku tidak sedang mual dan sakit kepala, pasti aku akan segera membalas ocehannya yang mengganggu, atau sekalian saja bakal kusumpal mulutnya yang kurang pendidikan. Tahu diri, dong! Ia ini adalah penerjemahku! Berani-beraninya bicara tidak sopan begitu kepada aku yang merupakan majikannya. Kurang ajar!
Selesai bersusah payah menaikkan koper ke jok belakang, aku segera masuk ke dalam mobilnya—pickup truck hitam bermerek tiga huruf berwarna merah pada grill-nya—yang berukuran raksasa dan pastinya bertolak belakang dengan ukuran tubuh pemiliknya yang mungil. Euh, yakin si Bocah bisa mengemudikan kendaraan sebesar ini?
"Gosh! Lo bahkan ga nawarin diri buat nyetir. What a nice gentleman," sindirnya seraya memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya ke arah kanan dengan kasar. Sedikit goncangan mulai kurasakan dan deru mesinnya yang keras segera terdengar.
Sisa waktu yang semakin menipis, ditambah dengan lokasi pemotretan dari bandara yang jaraknya cukup jauh—begitulah yang diucapkan perempuan dari GPS di dashboard-nya—si Bocah memperlihatkan kebolehannya membawa kendaraan melewati sekian banyaknya mobil yang menghalangi jalur. Hujan yang turun dengan cukup deras juga seakan tidak mengganggunya sama sekali.
"Euh—"
"Berisik!" potongnya ketus.
"Tapi, pelan-pela—"
"Kita hampir telat!" ucapnya lagi galak, tidak mengindahkanku di sampingnya yang tengah meremas handle pegangan terlalu erat hingga buku-buku jariku memutih. Si Bocah bahkan menginjak pedal gas semakin ke dalam, mungkin sampai mentok.
"I-iya, tapi ... masih mending telat da-daripada mati! Gue masih mau hidup!" teriakku lantang dengan kedua mata terbelalak dan jantung yang berdebar keras. Baru juga aku selamat dari kiamat penerbangan, sekarang nyawaku malah diuji kembali olehnya.
"Shut up! Lo ga bakal mati!"
... Oh, tidak. Kenapa malah sekarang aku merasakannya?
"Berhenti," ucapku singkat.
"Oh, please! Gue udah bilang, 'kan? Lo ga akan mati! Percaya gue aja, 'napa?"
... Oh, gawat. Bahkan aku sekarang merasakannya sudah mencapai tenggorokan.
"Beneran. Berhenti," pintaku memelas. Pandanganku kualihkan supaya tidak menghadap ke jalan karena gaya menyetirnya yang ugal-ugalan dan semakin mengocok isi perut.
"... Kenapa lo?" tanyanya akhirnya. Sepertinya ia menyadari keanehan pada diriku yang menunduk dengan kedua mata tertutup.
Keringat dingin mulai menjalari tengkuk dan sakit kepala kian bertambah kuat menekan-nekan dahi.
Oh, no. Aku sudah tidak bisa menahannya lagi.
"Nes."
Baru kali ini aku memanggil namanya, karena sepertinya memang harus kulakukan di saat kekacauan sebentar lagi akan segera terjadi di dalam mobilnya. Katakanlah dengan memanggil namanya merupakan bentuk permohonan maafku yang mendalam padanya. Kenapa?
Tiga ... dua ... satu ...
"You stupid moron!"
Benar bukan dugaanku? Tepat berselang beberapa detik setelahnya, yang kemudian segera diiringi dengan umpatannya yang menggelegar barusan, kondisi mobilnya bakal berakhir mengenaskan karena hadirnya cairan berbau pekat dari dalam lambungku.
"No, no! Stop! Wait, gue ada plastik! Tunggu!"
Sorry, tapi sekali ia sudah keluar, bagaimana juga caraku untuk menahan dorongan yang berikutnya? Yang artinya, aku kembali muntah di hadapannya. Berulang-ulang, bahkan.
"No, no, no! Tahan dulu! Oh, God! Disgusting!"
'Disgusting'? Pastinya. Tapi, phew. Akhirnya bisa keluar juga setelah sejak tadi aku hanya bisa bersendawa saja. Be free, ikan-ikan sushi! Sekarang kalian bisa berenang bebas dan tidak lagi nyangkut di belitan ususku yang sempit. Huff, lega rasanya.
Aku kembali duduk menyandar, kelopaknya masih kupertahankan untuk tertutup rapat. Nyut-nyutan di kening sedikit mereda, jelas jauh lebih baik dari beberapa saat yang lalu.
... Hm? Sejak kapan mobilnya berhenti berjalan? Bahkan suasana saat ini cukup tenteram, hanya terdengar suara 'tik-tak-tik-tak' dari lampu sein yang berulang-ulang dan tidak kunjung padam, diiringi dengan rintikan hujan yang masih juga belum mereda.
"... Pierce?"
Oh, tidak. Memang kondisi perutku sedikit baikan karena isinya sudah kukeluarkan, tapi ketenangan segera punah ketika suaranya muncul diiringi dengan bunyi gemeretakan gigi yang membuatku kembali bergidik.
Perlahan kubuka kedua mata dan mulai kuperhatikan situasi yang tengah terjadi. Ugh! Benar saja. Mobilnya hancur karena karpet dan beberapa bagian joknya terkena noda, belum lagi baunya yang tajam menusuk kencang ke dalam kedua lubang hidungku. Hoekz!
Tapi untungnya, sebelum netraku menghadap ke wajahnya yang pastinya menyeramkan dan jauh lebih mengerikan daripada semua makhluk halus yang ada, dorongan baru kembali kurasakan timbul tanpa kuundang sebelumnya. Ternyata perutku belum sepenuhnya kosong.
"Oh, no! Not again!" bentaknya lagi di saat aku sekali lagi menyembur di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Pink
RomanceReading List Dangerous Love - November 2022 @WattpadRomanceID -- [Undies Connoisseur Series] Bima's Concealed Remembrance Ia yang narsis, penuh kepercayaan diri, dan ngaku-ngaku kalau wajahnya memperlihatkan ketampanan di atas batas normal. Pastinya...