7. Pinky Makeover

128 16 4
                                    

"HAH?!"

"Argh!" Aku mengerang dengan keras menatap pantulan bayanganku di cermin yang usang dan retak di ujungnya.

Karena teriakannya yang mendadak, tidak sengaja jari tengah dan jempolku menekannya terlalu kencang hingga kedua pisaunya mengayun dan menyatu sepenuhnya. Ya, aku tengah fokus berdiri di kamar mandi dengan sebuah gunting di tangan.

Aku segera berlari keluar ke tempat si biang kerok berada. "Gara-gara lo!" umpatku kesal padanya yang sudah bangkit duduk di atas ranjang dengan rambut yang masih acak-acakan dan pahanya terlihat jelas karena celana yang dikenakannya terlalu pendek.

Jangan salah sangka. Aku tidak melakukan apa pun dengannya. Betul! Aku tidak berminat pada anak-anak! ... Sial! Masih tidak percaya juga? Aku betulan jujur! Sumpah, aku lebih memilih mati daripada status gay plus pedophile melekat pada diriku.

Dasar makhluk keparat! Kenapa semenjak kemarin ia terus saja berulah?! Sudah bagus aku memberinya tumpangan menginap. Bahkan menyerahkan satu-satunya ranjang yang kumiliki untuk ditidurinya. Juga, lihat! Aku meminjamkannya area untuk menjemur baju-bajunya yang basah. Uhm, kelihatannya tidak akan kering dalam waktu dekat.

Tidak! Sekali lagi aku tidak pernah memaksanya untuk terlelap di sini, di rumahku yang kumuh, kotor, berbau apek, dan bahkan biaya sewanya masih nunggak uhm ... berapa bulan, yah? Tiga? Empat?

Hahhh~. Memang aku harus menjualnya. Bye-bye jasku yang tercinta. Sampai jumpa kembali. Sekiranya nanti aku sudah mendapatkan uang dari Olivia, aku akan mencarimu. Akan kuraih kembali dirimu untuk selamanya berada di sisiku. Aku janji!

Kembali ke topik semula. Percayalah! Dia masuk ke rumahku atas keinginannya sendiri. Tidak ada pilihan, sebetulnya. Sekian lama menunggu hadirnya taksi atau ojek di ujung gang, sayangnya di tengah hujan lebat, plus sudah malam, belum lagi di area yang sepi dan kumuh, mana ada transportasi umum yang mau lewat.

"Gue di mana?!" jerit si Bocah sekali lagi dengan volumenya yang meningkat drastis.

"Rumah gue, 'kan?! Lupa?"

Wajahnya menoleh ke sekeliling ruangan sambil sesekali menguap. "Ah, bener juga," jawabnya.

Dasar bocah bodoh. Dia sendiri kan yang dua hari lalu hampir menangis di bawah guyuran hujan? Tapi kelakuannya sudah seperti hilang ingatan saja. Apa maksudnya 'gue di mana'? Dan juga, kenapa bajunya kayak begitu?! Tidak sadarkah dia kalau sedang bermalam dengan lelaki normal? Coba kalau pendirianku tidak kuat, aku bisa saja langsung melompat ke atas tubuhnya yang indah, mulus, putih, dan ... argh! Hentikan! Sebelum benda itu bangun lagi! Padahal aku sudah susah payah meredamnya. Sekali lagi karena dia!

Bahkan tidurnya sudah seperti babi! Jantungku dibuat senewen karena kukira ia tewas di atas kasurku. Awalnya ia terus terjaga, menolak untuk berbaring dan mengistirahatkan diri. Takut diapa-apain olehku, katanya. Huh! Enak saja! Siapa juga yang tertarik dengan tubuh anak SMA?! ... Ugh! Seratus persen dari kalimatku tadi dipenuhi dengan ketidakjujuran.

Baru ketika matahari telah terbit di pucuk sana, ia mulai mengantuk dan tidak sadar sampai sekarang. Coba bayangkan. Ia tidur lebih dari 24 jam lamanya! Mengerikan!

Dan karena gaya tidurnya yang tidak menyerupai seorang perempuan, ia berputar dan sesekali bergerak hingga menimbulkan suara gesekan antara kulitnya dengan kain seprai. Rasanya pada diriku? Menderita! Aku tidak bisa tidur karena harus terus menahannya, sekuat tenaga menghentikannya supaya tidak bangun seutuhnya dan menjauh agar tidak menerkamnya. Alhasil, tebal kantong mataku menjadi berlipat ganda.

"Rambut lo kenapa?" tanyanya sambil mengucek matanya yang masih juga meminta untuk menutup.

Ugh! Separuh jiwaku. Sebagian ragaku. Melayang begitu saja, jatuh ke atas lantai dan akan berakhir di floor drain. Semua gara-gara dia! Rambutku jadi panjang sebelah karena tidak sengaja kugunting! Sial!

Tidak ada gunanya bicara dengannya. Apa juga yang bisa dia lakukan? Penampilanku sudah bertambah hancur. Tadinya aku ingin menatanya rapi sebelum berangkat sebentar lagi. Tidak mungkin kan aku muncul seperti ini di hadapan Olivia? Ugh! Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya?

"Lagi ngapain lo?" tanyanya, muncul tanpa diundang mengikuti di belakangku, mengamati aktivitas yang tengah kulakukan, sendirian di kamar mandi.

"Jangan berisik!" umpatku segera. Ganggu saja. Tidak lihat kalau ini adalah moment penting, saat kritis untuk menyeimbangkan panjangnya supaya kembali sama rata dan sejajar! Uhm ... seginikah? Cukup? ... Kurang naik? Apa turun lagi lima sentimeter?

"Argh! Sini!" protesnya sambil merebut kasar pemangkas di tanganku. "Gatel gue liatnya!"

"Hah? Lo mau ngapain?"

"Gunting," jawab si Bocah santai. Bahkan pisaunya yang runcing sudah siap dan sedikit lagi akan membinasakan beberapa helainya lagi. Tidak!

"NOOO! Gue ga percaya sama lo!"

"Lupa? I have a brother. Gue sering cukur rambut Tony," akunya bangga.

Ah, betul juga. Euh ... tapi yakin bisa?

"Cuma mau ketemu sepupu doang, perlu yah, sampe begini? Don't you think this is too lebay?" tanyanya sedikit kebingungan akan sikapku yang menurutnya berlebihan. Wajahnya kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan seperti berusaha mencari sesuatu. "Sorry, but I don't see any spray bottle here," tambahnya dan tanpa izin mulai mengepreti rambutku dengan air yang diraihnya dari keran.

Kurang ajar. Sudah seperti seorang pastor yang tengah melakukan exorcism saja. Bleh! Bahkan sebagian besarnya mengenai mukaku dan masuk ke dalam mulut!

"Jangan banyak tanya!" protesku seraya menyeka wajah yang basah akibat ulahnya. "Buat gue, ini penting!"

"Fine," jawabnya singkat.

Tangannya yang mungil mulai menyisir rambutku sambil sesekali dilihatnya bayanganku di cermin. Kalau kalian berpikir ini adalah saat yang romantis bagi seorang lelaki dan perempuan di tengah kamar mandi yang pencahayaannya redup, kalian salah. Argh! Ia menyiksaku! Rasanya betul-betul menyakitkan dan semua akarnya seperti hendak lepas dari kepala!

"Gah, sorry! Don't blame me!" belanya, masih juga mengerahkan seluruh tenaganya di tempurungku. Aw! "I mean, kapan sih terakhir kali lo nyisir?! Kusut banget ini!"

Mau bagaimana lagi? Salon merupakan tempat terakhir untuk kukunjungi. Aku tidak mungkin mengungkap keberadaanku di sana kepada seluruh wartawan. Shampoo jelas bye-bye dengan kondisi keuanganku yang mengkhawatirkan. Mau keramas saja tidak bisa. Ingat? Aku perlu menghemat air.

Oh, tidak. Semoga ia tidak dapat menangkap aromanya yang pasti sudah seperti mayat busuk. Mungkin si Bocah juga perlu cuci tangan berkali-kali untuk menghilangkan baunya yang sudah terlanjur menempel di kulitnya. Maap!

"You know what? This is beyond helpless," ucapnya menyerah, membiarkan sisirku menggantung di sela-selanya dan hinggap dengan menyedihkan di atas telinga.

"... Maksud lo?"

Nah, yang seperti itu tadi aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Pertama, dalam satu kalimat semuanya dipenuhi bahasa asing. Kedua, kenapa dia ngomongnya cepat banget?!

Belum juga otakku memproses dan masih loading, suara mengerikan itu mulai terdengar. Oh, tidak. Kenapa dia bisa menemukan benda itu?!

"The only thing that can help you, is this!" ujarnya semangat.

Suara yang ditimbulkannya bertambah keras ketika tangannya semakin mendekati telingaku. Tidak, tidak, TIDAKKK!

"Ready?" tanyanya yang tidak membutuhkan jawaban persetujuanku.

Sudah seperti film horror dikejar-kejar oleh seorang psycho, bocah sialan yang kuberi pertolongan supaya tidak kehujanan dan memiliki tempat untuk menginap, nyatanya ia sekarang tengah mengulitiku hingga telanjang. Clipper di tangannya bagaikan sebuah chainsaw, membinasakan semua rambutku dan meninggalkan satu sentimeter saja ke seluruh permukaannya.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan keringanan tiada tara pada kepalaku yang sekarang cepak. Ugh!

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang