"... Itu taksinya gimana?" tanyaku seraya menoleh melihat kendaraan itu yang tidak juga beranjak pergi di sisi jalan.
"Gue suruh tunggu," jawab si Bocah sambil berusaha untuk menunduk jauh ke bawah, mencoba meraih sesuatu di dekat pintu masuknya.
Aku yang tengah memapahnya, membantunya yang masih sempoyongan, ikut terbawa bungkuk karena gerakan yang dilakukannya.
Kulepaskan lengannya yang mengitari tengkukku dan meraih pinggangnya supaya kembali berdiri tegak. "Pegangan tembok," perintahku padanya karena selama beberapa detik ia tidak akan menerima bantuanku. "Lo cari apaan?" tanyaku seraya berlutut dengan satu kaki.
"... Kunci," jawabnya, "harusnya ada di bawah karpet."
Kuangkat lembarannya sedikit ke atas dan meraba-raba permukaan di baliknya. Tidak memakan waktu lama, keberadaan benda logam itu segera kutemukan di sudut pojoknya.
"Ini?" tanyaku seraya bangkit berdiri.
Si Bocah mengangguk dan meraihnya dari tanganku. Segera dimasukkannya ke lubang kunci dan dibukanya daun pintu, memperlihatkan area rumahnya yang sepenuhnya gelap gulita.
"Orang rumah?" tanyaku seraya celingukan, berusaha mengadaptasikan kedua netraku di dalamnya.
"Shush ... udah pada tidur kayaknya," jawabnya dengan volume yang nyaris tidak terdengar.
Prak! Klontang! Prang!
"Kenapa—"
"Shush! Jangan berisik!" potongnya.
Huh! Yang menimbulkan kegaduhan itu siapa? Dia sendiri padahal.
"Sorry. Gue masih agak pusing," bisiknya seraya berupaya jongkok, mencoba meraih benda-benda yang barusan tidak sengaja disenggolnya hingga berjatuhan.
"Sini, gue gendong lagi," tawarku prihatin, turut memelankan suara.
Kuikuti gerakannya, berusaha mendahulukannya mengambil objek yang hendak digapainya, namun karena tanpa penerangan, malah tangannya yang justru kutangkap.
"Ga usah!" Si Bocah mengeluarkan suara seraya dengan cepat menyingkirkan tangannya dariku.
"Shhh!" balasku padanya yang berteriak terlalu kencang. Bisa-bisa nanti semua orang pada bangun, termasuk para tetangga sekalian.
Selama beberapa detik kami terdiam, mengaktifkan indra pendengaran hingga ke tingkat maksimum sekiranya bakal muncul suara baru akibat keributan barusan. Untungnya rumahnya masih tetap hening dan tidak ada perubahan sama sekali. Ugh! Kenapa juga harus sembunyi-sembunyi begini, sih? Padahal aku tidak punya salah. Yah, selain kecupan waktu itu. ... Bima! Ingat lagi, ingat lagi! Lupakan kejadian itu!
"Heh! Lo mau ke mana?" tanyaku ke arahnya yang hendak menaiki tangga. Saking terlalu bergegas, bahkan kakiku tidak sengaja menabrak sofa di tengah ruangan hingga posisinya sedikit miring. Aw!
"Ke kamar," jawabnya singkat, "di atas," tambahnya seraya menunjuk.
Kenapa juga kamarnya harus ada di lantai dua, sih? Kalau jatuh, bagaimana? Mana masih sempoyongan begitu.
"Stop being lebay, okay? Gue cuma demam. Ga mungkin mati," ucapnya seraya menepis lenganku yang hendak kembali menolongnya.
Kenapa, sih? Padahal niatku kan baik. Coba kalau jatuh. Rugi sendiri, 'kan? ... Ugh, Bima! Ngapain kamu? Malah nyumpahin orang yang tidak-tidak.
Tentu aku tidak menyerah begitu saja ketika dia sekali lagi menolakku. Anggap saja sudah kebal karena terlalu keseringan. Sehingga kuarahkan kedua telapakku yang terbuka kepadanya, tepat berjarak sekitar sepuluh sentimeter dari area punggungnya. Sudah siap untuk menahan bebannya apabila ia jatuh ke belakang.
Dasar bocah keras kepala. Lihat? Untuk mencapai lantai atas saja ia membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. Kedua tangannya terus meremas railing tangga untuk membantu membawa tubuhnya naik. Bahkan ia hampir tumbang menimpaku sebanyak dua kali.
Coba kalau ia setuju kugendong. Tidak akan sesulit ini bukan? Ya ... memang kemungkinan aku terjungkir ke belakang bersamanya sebetulnya lebih tinggi persentasenya karena kakiku masih juga berdenyut. Aneh. Kenapa rasa sakitnya tidak hilang-hilang? Biasanya tidak pernah selama ini.
"Heh! Lo mau ke mana lagi—"
"Shush!" bentaknya. Kali ini ia betulan membekap mulutku terlalu kasar. "Kamar Mama di sana!" bisiknya seraya menunjuk ke ruangan tepat di seberangnya.
Untungnya pintunya tetap tertutup rapat dan tidak ada tanda-tanda kalau penghuni di dalamnya menyadari hadirnya suara asing tepat di luar kamarnya.
Kuraih pergelangan tangannya dan melepas telapaknya yang barusan melekat pada mulutku. "Lo mau ke mana?" tanyaku lagi, berbisik sesuai perintahnya.
"Taksi di bawah harus dibayar, 'kan?" ingatnya seraya menunjukkan selembar uang tunai bernilai dua puluh dolar yang baru saja diraihnya dari dalam kamarnya.
Segera kurebut paksa uang itu darinya. "Jangan bilang lo mau turun tangga lagi dengan kondisi lo yang kayak begitu? Gue aja yang ke bawah! Sonoh, tiduran!"
Suara bisikannya sedikit bertambah keras ketika sebelah kakiku sudah melangkah di pijakan pertama. "Kasih semuanya ke dia. Sisanya buat tip. Awas kalo kembaliannya malah lo ambil!"
Iya, iya, bawel. Cerewet sekali. Ruangan yang tentunya masih asing ini membuatku sekali lagi menabrak sofa yang sama. Aw! Aku pun tertatih-tatih saat berjalan keluar karena tulang keringku berdenyut terlalu keras.
"So-sorry, Sir," ucapku terbata-bata kepada supir taksi yang masih setia menunggu.
Hingga kini pun aku masih belum terbiasa melakukan percakapan dengan bule. Apalagi pria gemuk di hadapanku tidak berterima kasih sama sekali. Ia cuma menurunkan kaca mobil, meraih uang di tanganku, dan langsung saja menancap pedal gasnya. Kenapa juga dia? Galak betul!
Kuikuti langkahku barusan untuk membawaku kembali ke rumahnya yang bergaya klasik dan bernuansa kayu yang dicat putih serta abu. Baru saja kupegang handle-nya, kesadaran tiba-tiba saja menyentil otakku.
Apa yang sebenarnya hendak kulakukan? Masuk lagi ke rumahnya? Menemuinya lagi di dalam kamarnya?
Bantuan yang kuberikan padanya sudah selesai. Si Bocah sudah kembali kepada keluarganya dengan selamat dan sosokku sudah tidak diperlukannya lagi.
Tapi ... kenapa kedua kakiku tetap membeku di depan rumahnya?
Aku mengembuskan napas panjang dan melepas handle pintu yang barusan kucengkeram terlalu erat. Kubalikkan tubuh dan menatap langit di atas sana. Hitam, pekat, bahkan tidak ada satu pun kelap-kelip bintang yang menemani di kegelapan malam.
Aku tetap tidak beranjak dari posisiku berdiri di saat kenyataan lain menghantam ingatanku. Betul juga?! Aku mau ke mana? Tidak ada uang dan tanpa tempat tinggal karena waktu menginap di hotel sudah berakhir. Koper pun masih di sana, dan jangan lupa, pesawat untuk pulang pun ketinggalan.
Walaupun sudah berganti identitas, wajah, serta nama, mengubah kehidupan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apa gunanya juga oplas kalau begitu? Aku tetap menyedihkan, tidak ada bedanya dengan ketika aku masih berwujud sebagai Bima. Setidaknya saat itu Hartanto masih menjadi nama belakangku. Namun sekarang? Bahkan Papa sudah memilih anak yang baru. Anak yang lebih pantas untuk mendapatkan kasih sayangnya.
"Ngapain lo masih di situ?"
Suaranya itu. Suaranya yang cempreng dan menyebalkan.
"Udah di bayar 'kan, taksinya?" tanya si Bocah lagi sambil menoleh ke tempat kendaraan yang tadi membawa kami kemari terparkir, namun sekarang sudah hilang tanpa jejak.
Kenapa ia kembali turun ke bawah hanya untuk mengajukan pertanyaan bodoh itu kepadaku? Kenapa ia bersusah payah menuruni tangga hanya untuk mencari keberadaanku di sini?
"Ayo masuk!" perintahnya galak. "Mau lo semaleman di luar, dingin-dingin gini?"
Si Bocah menatapku heran dengan sebelah alis naik ke atas. Daun pintu dibukanya lebar, menungguku agar segera mengikutinya.
Kutundukkan kepala dan mengangguk. Sebisa mungkin menahan air mata yang kurasakan perlahan mulai menyelimuti bola mata.
Dan aku pun mengikuti langkahnya, menerima bantuannya yang penuh dengan kehangatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Pink
RomanceReading List Dangerous Love - November 2022 @WattpadRomanceID -- [Undies Connoisseur Series] Bima's Concealed Remembrance Ia yang narsis, penuh kepercayaan diri, dan ngaku-ngaku kalau wajahnya memperlihatkan ketampanan di atas batas normal. Pastinya...