"Nih," katanya seraya menyodorkan sebuah kartu berbentuk persegi panjang kecil berwarna dasar hitam. "Yakin?" tanyanya seraya menariknya kembali dengan kasar, menjauhkannya dari jangkauanku, memastikan untuk terakhir kalinya.
Aku mengangguk. Tidak ada pilihan lain dan tidak ada gunanya untuk mundur. Keputusanku sudah bulat, bundar sempurna tanpa penyok atau penyet sedikit pun.
"Gue ga tau lo gila atau tolol, Bim. You sure? A hundred percent sure? Like, really, really sure?"
"Bawel, lo! Cepetan sinihin!"
Olivia mengembuskan napas dan menyerahkan kartu nama tersebut yang ternyata bermotif beludru, betul-betul terasa berkelas. Sebuah nama tertera di atasnya, bergelar professor ditambah dengan embel-embel lainnya yang super panjang di belakangnya. Ukiran rumit berwarna putih tampak berlekak-lekuk tepat di bawahnya—bahasa Thailand yang entah apa juga artinya.
"Lo ga bilang kalo gue yang butuh, 'kan?" tanyaku sedikit mencurigainya.
Olivia menggelengkan kepala. "Gue ikutin petunjuk lo buat hubungin Om Stanley. Of course not me, I asked someone to blackmail him soal plastic surgeon yang dia pake. I mean, I didn't know that he's a transgender!"
"Lo tau kalo nama aslinya Stefanie?" tanyaku seraya terkekeh geli.
"Jesus! No wonder he's still single!"
Waktu aku kecil, Papa sering membanggakan buku albumnya, menunjuk beberapa foto di dalamnya yang mencetak sosoknya yang masih balita. Katanya mukaku identik dengan rupanya kala itu. Setelahnya aku kerap kali ke kamar Papa, mengobrak-abrik seluruh isinya untuk kujadikan mainan, tidak terkecuali kumpulan buku albumnya tadi.
Sudah seperti couple, kalau ada foto Papa, pasti ada perempuan itu di sampingnya—berambut lurus dan panjang, serta tomboy dan selalu mengenakan topi. Tapi aku yakin itu bukan Mama. Dan kalau Om Stanley mampir ke rumah, mereka berdua selalu terbahak keras, mengenang kembali saat-saat SMA atau masa kuliah dulu. Tapi tidak ada fotonya satu pun, tuh? Aneh.
Baru ketika aku mulai mengenal dunia, gelap terangnya perjalanan dan pasang surutnya kehidupan, saat itulah aku baru tahu kalau di bumi ini manusia tidak hanya terdiri dari lelaki dan perempuan saja. Om Stanley contohnya, uhm ... atau Tante Stefanie?
Ya, walaupun ahli bedah terkemuka di Negeri Gajah Putih itu berhasil mempermak tubuhnya, mukanya, dan mengubah setiap bagiannya menjadi seorang lelaki perkasa, masih ada saja fitur wajahnya yang tertinggal. Seringai Om sama persis dengan senyuman khas perempuan itu di foto ketika tengah merangkul pundak Papa. Dari situlah aku tahu kalau mereka merupakan sosok yang sama.
"One last chance," ucap Olivia dengan pandangan yang berubah serius, "lo masih bisa pulang, Bim. They're waiting for you ... at home."
"Itu bukan rumah gue lagi."
"Mereka keluarga lo. Your family," tuturnya tegas.
"Ada lo yang nemenin mereka."
Olivia mengembuskan napas dan melipat kedua tangannya di dada. "It seems easy to toss them away, but the truth is ... no one can live alone."
Apa? Apa? Dia bilang apa? Aku seratus persen tidak mengerti akan ucapannya barusan.
"Udah? Gue ga butuh ceramah lo."
"Fine," ucapnya seraya mengangkat kedua tangan dengan telapaknya yang terbuka, "terserah lo. Nih." Diserahkannya sebuah tas selempang murah tidak bermerek yang apalagi kalau bukan hitam, warna kesukaannya. "Of course, bukan tas branded," jelasnya, seakan mengetahui isi pikiranku. "Jangan sampe lo narik perhatian paparazzi. Especially with your pinky style. Ew!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Pink
RomanceReading List Dangerous Love - November 2022 @WattpadRomanceID -- [Undies Connoisseur Series] Bima's Concealed Remembrance Ia yang narsis, penuh kepercayaan diri, dan ngaku-ngaku kalau wajahnya memperlihatkan ketampanan di atas batas normal. Pastinya...