10. Pinky Contract

110 12 5
                                    

"Thank God, it didn't happen!" ujar si perempuan. Keriangan terdengar jelas dari suaranya. "From now on, you sleep outside!"

"You hate it that much?" tanya si lelaki, nadanya rendah dan dipenuhi dengan kekecewaan.

"Gue udah pernah bilang, 'kan? Gue benci anak kecil."

"... Keliatannya, ga gitu."

"Well, you know nothing," balasnya keji dan dingin.

Tidak. Aku tidak bermaksud menguping. Tapi semua orang juga pasti mengurungkan niatnya untuk melangkah kalau suara pertengkaran membahana hingga mencapai pintu masuknya—FYI, tidak menutup rapat. Apalagi kalau tamu yang tidak diundangnya adalah diriku ini.

Sudah tiga hari sejak sepupuku muncul dan setelahnya tidak ada kabar apa pun darinya. Aku terus menunggunya dan sesekali mengintip dari balik pintu, mengharapkan kehadiran sosoknya sekali lagi. Tapi apa daya, aku tidak sabar! Ditambah lagi, aku betul-betul kelaparan! Dengan gobloknya, aku melahap habis onigiri pemberiannya dalam sekali suap. Padahal aku bisa bertahan selama seminggu kalau sekiranya membaginya menjadi beberapa bagian. Dan kesimpulannya, di sinilah aku berada sekarang, langsung menemuinya entah dia suka atau tidak. Alamat tidak suka, sih.

"Then, tell me," pinta si lelaki, enggan untuk menyudahi pembicaraan.

Ternyata benar perkataan adiknya. Olivia mengirim mereka semua sekeluarga ke sana. Bahkan pria itu jadi jago bahasa Inggrisnya dan bisa membalas perkataan sepupuku dengan lancar. Berapa lama ia berada di sana? Dalam waktu sesingkat itu langsung bisa menguasainya penuh? Mau tidak mau aku sedikit terpana. Sedikit, yah, tidak banyak.

"I'm telling you right now. I hate kids!" bentaknya lagi, jauh lebih keras daripada sebelumnya.

"Alesannya?"

Olivia terdiam dan ruangan menjadi hening. Lagi, walaupun mereka berdua berbicara dengan cepat dan aku tidak terlalu mengerti, tapi aku paham kalimat 'I hate kids' yang diucapkannya.

"Liv? Alesannya?" ulangnya, meminta penjelasan kenapa sepupuku itu begitu membenci anak kecil. Hei! Jangan melihatku seperti itu! Aku tidak tahu jawabannya dan jelas, bukan aku penyebabnya.

Ah, ternyata tepat dugaanku waktu itu. Awalnya aku hanya asal nyablak saja melihatnya kemarin itu yang sedikit sempoyongan, namun perkelahian sepasang couple ini memang didasari oleh satu topik—kehamilan.

Tentu aku tidak peduli dan tidak perlu tahu sudah sampai sejauh mana kedua sejoli ini memadu kasih. Ini kan bukan rumahku. Terserahlah mau ngapain juga mereka berdua di dalamnya. Bukan urusanku.

Aku beranjak sedikit ke pinggir, mencari semak atau pepohonan yang tanah di sekitarnya mengering. Memang kediamannya ini tidak sebesar rumah Uncle, tapi halamannya betul-betul luas dan sangat asri dengan berbagai tanaman dan pepohonan memenuhi seluruh penjuru.

Ah, itu dia! Pilihanku jatuh pada sebuah pohon berbatang besar yang dipenuhi dengan buah berbentuk bulat di rantingnya. Ukurannya kecil dan warnanya pun hijau tua, masih mentah. Terimalah cairan surgawiku yang baunya pekat dan sangat kuning. Pasti sesudahnya kau akan beranjak dewasa dan bisa segera dipetik untuk dinikmati.

"No reason!" Suara Olivia menggelegar di saat daun pintu tiba-tiba terbuka lebar. "I need some space!" tambahnya dan membantingnya keras tepat di depan muka si lelaki yang baru saja berdebat dengannya. Ouch!

"Sial!" umpat lelaki itu seraya mengacak-acak rambutnya. Ia mengembuskan napas panjang dan membalikkan tubuh dengan cepat. "Geh!" ucapnya segera ketika dilihatnya diriku.

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang