16. Pinky Obstacle

89 9 8
                                    

"Bagus, tuh," ucap Antony namun sedikit cengiran tampak di wajahnya, tidak sanggup ditutupinya dengan sempurna.

" 'Bagus'? 'Bagus' kata lo?!"

"Mana? Mana?" tanya Benjamin dan Bakti berbarengan dan masing-masing meraih beberapa lembar foto dari tangan Antony dengan cepat.

Duduk bertiga di atas sofa pun sudah terasa sempit, apalagi sekarang ini? Berempat! Gah! Sesak!!! Aku segera bangkit berdiri dan memilih untuk merelakan tempatku. Sudah cukup! Aku ogah berdekatan dengan para lelaki! Lebih baik aku duduk di atas karpet saja.

"Wihhh ... lo akhirnya udah bisa menerima diri lo yang sebenarnya, Pierce?" tanya Benjamin super menyebalkan namun tatapannya masih tetap melekat pada lembaran-lembaran sialan di tangannya.

"Euh ... Pak Bi—eh, Pi-Pierce. Ja-jadi selama ini ... se-semuanya benar?" tanya Bakti yang hingga saat ini pun masih belum berani untuk menatap wajahku.

Kenapa makhluk satu ini bisa berada di sini, sih?! Awalnya kupikir hanya Olivia dan Benjamin saja yang tahu mengenai transformasi yang kujalani. Tapi, apa ini? Bukan cuma Antony, tapi Bakti juga?!

Kenapa mereka berdua bisa bilang kalau Bakti bisa dipercaya? ... Yakin? Masa, sih? Digertak sedikit juga kelihatannya ia yang terlihat ketakutan begitu pasti dengan gampangnya akan membocorkan semua rahasiaku kepada semua orang.

Sialan! Tidak lucu kalau nanti seluruh staf kantor tahu kalau aku ini Bima! Apa gunanya aku melakukan oplas kalau begitu?!

"Betulan bagus, kok. Lo keliatan natural dan ... menikmati sekali," tambah Benjamin seraya memilih salah satunya yang mana menunjukkan diriku yang tengah berbaring di atas sofa dan mengalihkan wajah dari kamera. Kenapa? Laki-laki pasanganku yang kelewat berani itu berpose dengan posisi merondang, tangan kanannya di atas abs-ku yang sempurna, meraba dan menikmati setiap lekukannya, tapi wajahnya ... bleh! Nakal seperti hendak menerkamku! Jijik!!!

Ugh! Photoshoot keparat! Aku bukan hanya merasa ternodai dan dilecehkan, tapi ternyata tema yang dipakai saat itu adalah BL atau Boy Love, alias gay-theme! Gah!

Masih mending kalau aku dibayar. Tapi apa ini? Aku dipaksa berpose dengan beberapa pria secara cuma-cuma! Woi! Tubuhku bukan berupa barang gratisan!

Tolong katakan kalau aku tetap perawan! Tolong yakinkan kalau aku masih suci! Tolong ucapkan kalau aku tidak tercemar! Jadi seperti ini rasanya ketika seseorang yang baru kukenal dan kupercaya sebagai teman malah membuangku ke dalam jurang penuh dengan lelaki mata keranjang. Sakit dan ingin menangis! Huhuhu.

"Sialan lo!" umpatku seraya meraih semua foto yang ada dari tangan mereka semua, membinasakannya dengan penuh amarah dan melemparnya ke arah Antony.

"Kenapa dirobek?" tanya Benjamin dengan kedua mata yang terbelalak lebar. "Kenang-kenangan, 'kan? Itu celana dalam bermerek, loh!"

'Kenang-kenangan'? Aibku dijadikan 'kenang-kenangan' katanya? Kalau bisa aku bakar semuanya hingga menyisakan abu saja!

Memang fotoku diperuntukkan sebagai iklan pakaian dalam Krokodilos yang namanya sudah dikenal masyarakat. Tapi jangan salah, tentu aku bukan model utamanya. Aku hanyalah seorang figuran yang mana wajahku diperintahkan supaya jangan menatap langsung ke arah kamera. Bagus, deh. Siapa juga yang mau memperlihatkan wajahku yang merona merah kepada seluruh manusia di muka bumi ini?!

"Sorry, sorry," kata Antony yang saat ini menangis karena sudah tidak sanggup lagi menahan tawa. "Tapi liat! John muji lo! Dia mau foto lo lagi katanya!"

"Lo benernya kenal John sialan itu dari mana, sih?!" bentakku kesal. Photoshoot pertama dengannya saja meninggalkan kepahitan yang cukup mendalam, mana mau aku bekerja untuknya lagi!

"Ga sengaja dia liat gue waktu baru pulang ngantor. Street casting, katanya," jelas Antony. "Heh! Jangan salah! John itu photographer terkemuka! Dia terkenal banget, loh!" belanya.

"Lo aja kalo gitu gih yang difoto sama John!"

"I'm not interested. Dan lagian, gue bisa dibunuh Olivia!"

Cupu sekali dia. Masa takut dengan wanita? Tapi ... aku juga tidak berani sih, dengan sepupuku itu. Lihat saja sifatnya. Mengerikan begitu.

"Ta-tapi ... be-betul bagus kok hasilnya, Pak—eh, Pi-Pierce," tambah Bakti yang tidak memperbaiki suasana sedikit pun. Siapa juga yang minta dipuji?!

"Denger. John butuh lo lagi. Dan sekarang dibayar, loh!" tawar Antony lagi pantang menyerah.

Pendirianku agak goyah mendengar kata 'dibayar' yang diucapkannya. Biasanya model itu mahal banget, 'kan? Yang gaya hidupnya glamor, bergelimang harta, juga jangan lupakan kendaraannya yang fantastis dan kediamannya yang megah bagaikan istana. Bukankah demikian?

"... Berapa?" tanyaku akhirnya. Ugh! Memang aku ini gampang sekali terbuai, apalagi kalau sudah berkaitan dengan uang. Padahal dulu aku tidak seperti ini. Memalukan!

"Dua puluh dolar," jawabnya singkat.

Apa?! Fotoku yang berikutnya hanya bakal dihargai tiga ratus ribu?! Yeah, right! Lucu sekali!

"Hahhh ... gue tau jawaban lo," tambah Antony lagi setelah memerhatikan wajahku yang pastinya terlihat jelas tidak sudi dan menolak tegas penawarannya. "Sebelum lo mutusin lebih baik balik lagi ke minimarket dan ngangkut-ngangkut dus dari gudang—"

Ya, iyalah! Siapa juga yang mau sekali lagi kembali ke dunia hiburan mengerikan macam itu?! Lebih baik aku disuruh-suruh Aline mindahin minyak goreng! Aku tidak sudi—

"Marci Nielk," ucapnya singkat.

Eh?

"Yakin lo mau nolak, Bim?" tanya Antony lagi dengan sebelah alis terangkat.

Ihhh! Pierce, Pierce! Bim lagi, Bim lagi! Kenapa susah sekali untuk mengingat nama baruku! Tapi ... Marci Nielk? Oh, my God! Betulan? Merek pakaian dalam ternama dari Amerika yang tentunya wow! John menawariku mengikuti sesi pemotretan untuk Marci Nielk? Gak salah?

"Wah, Pi-Pierce!" ucap Bakti yang masih juga tidak bisa berbicara layaknya orang normal. Kenapa takut begitu, sih? Aku tidak akan gigit! "Ambil ta-tawarannya. Pe-peluang besar nantinya."

Betul juga sih, perkataannya. Walaupun hanya tiga ratus ribu, tapi Marci Nielk! Tentu bisa langsung meningkatkan portfolio-ku!

"Kapan pemotretannya?" tanyaku akhirnya.

"Sebulan lagi, tapi ...."

"... Tapi?"

"John minta lo harus udah bisa Inggris. At least, cuma buat ngertiin dia ngomong aja," jelas Antony. "John ga mau kelakuan tolol lo terulang lagi. Disuruh berdiri, malah tiduran. Disuruh duduk, malah nungging," tambahnya seraya membuang napas.

Banci sialan! Jangan buka-buka aibku, dong!

"Kalo gitu, kapan kita mulai?"

"Hah? No, no. Gue ga bisa ngajarin lo Inggris," tolak Antony segera. "Ga ada waktu. Lagian gue berangkat besok. Kerjaan numpuk."

"Jangan liat gue!" teriak Benjamin segera. "Sibuk," tambahnya singkat.

Ya, ya. Sibuk sama Celine, 'kan? Fine!

"... Eh? Pi-Pierce—"

Gak usah gelagapan begitu, dong! Tenang. Aku tidak akan minta Bakti untuk mengajariku. Berbicara lancar dengan bahasa ibu saja tidak bisa, apalagi Inggris. Mencurigakan.

"Anyway, buruan belajar. Oh! John minta lo juga buat liat-liat gaya pose model pakaian dalam. Biar ga terlalu keliatan amatir nanti. Udah, yah. Gue mau beres-beres koper," jawab Antony dan segera pergi ke ruangannya.

"Gue juga udahan. Waktu bobo," tambah Benjamin beranjak bangkit dari sofa karena jarum pendek jam dinding sudah tepat mengarah ke angka sebelas.

"Euh ... sa-saya ...."

Bye, Bakti! Aku tidak butuh bantuanmu!

Be My PinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang