"Euh ... yuk, pulang aja," pintaku memelas.
"Yang tadi kesakitan terus tiduran di bawah itu siapa? Hah? Hah?!!!"
Diam! Dasar suster gadungan! Kenapa juga Benjamin bisa pulang di tengah-tengah pesta? Bukannya belum selesai acaranya? ... Atau sudah?
Tidak tahulah. Saat itu aku sudah buta waktu karena terlena oleh lumatannya yang begitu menggairahkan. Entah berapa lama kami terus berpagutan. Bagaikan lem, bibirku melekat erat, tidak bisa lepas dari mulutnya. Kami terus mengecap, mencicipi satu sama lain.
"Ayo! Ngapain juga masih di sini? Udah ga kerasa apa-apa!" ucapku lagi supaya bisa segera pulang. Bahkan kupaksakan kaki kananku menyentak lantai untuk meyakininya, walaupun nyatanya, ugh! Masih sakit!
"Berisik!" bentak Benjamin, "Udah, tunggu aja! Sebentar juga nama lo dipanggil!"
Kenapa aku sekarang bisa bersama si Badut tidak berambut ini dan bukan bersama si Bocah? Ugh! Kenapa juga dia?! Mungkin ia reinkarnasi pencuri. Jago banget kaburnya!
Di tengah-tengah kenikmatan, tiba-tiba saja si Bocah mendorong dadaku hingga aku terguling dan duduk di atas lantai. Kedua matanya saat itu terbelalak terlalu lebar dan jemarinya yang bergetar menyentuh bibirnya yang sedikit bengkak. Karena ulahku juga lipstik di atasnya lenyap, habis tak tersisa. Setelahnya si Bocah segera lari tanpa berpamitan. Asli, mirip jelangkung. Masuk ruangan tanpa minta izin, keluar juga ngibrit begitu saja.
"Antrian nomor tujuh," panggil seorang perawat dan kembali masuk ke dalam ruangan dokter bersama pasien wanita lansia di belakangnya.
Terus hubungannya dengan kenapa aku sekarang bisa berada di klinik terdekat?
Bunyi itu muncul lagi ketika aku baru mau bangkit berusaha mengejarnya. Suaranya jauh lebih keras dan nyerinya betulan minta ampun. Padahal biasanya cuma sebatas nyut-nyutan, perih, dan linu. Namun kali ini, sakitnya seperti pergelangan kakiku dipelintir. Bayangkan baju baru dicuci, lalu diperas dengan kekuatan babon sampai airnya berhenti menetes dan kering sempurna, bahkan tidak membutuhkan panas matahari. Seperti itulah rasanya.
Benjamin lalu menemukanku terbaring di atas lantai dengan tubuh menekuk dan kedua lengan menekan area betis, berusaha menahan kesakitannya supaya tidak semakin menjalar. Pasti menyedihkan sekali bentukku saat itu. Ketika penderitaannya tidak juga mereda, ia memapahku berdiri dan memutuskan untuk secepatnya membawaku menemui dokter.
Ponselnya tiba-tiba saja berdering, memenuhi area tunggu yang ukuran ruangannya tidak terlalu besar. "Ya," jawab Benjamin, segera menerima panggilan yang masuk. "Hah?! Apa? Tunggu. Otw ke sana, sekarang," tambahnya dan langsung menyudahi pembicaraan.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
Tidak, tidak. Aku tidak sekepo itu. Tapi aneh saja melihat Benjamin seperti ini, kelimpungan dan kelabakan, lain daripada biasanya.
"Sorry, Pierce. Gue harus pergi. Awas kalo lo kabur sebelum temuin dokter!" Selesai menyampaikan peringatan, Benjamin langsung saja menghilang.
'Kabur'? Usul yang bagus!
Aku bangkit berdiri dan segera berjalan keluar. Tentunya sambil meraba, memegang, dan mencengkeram segala benda yang bisa kutemukan untuk membantu menopang tubuh. Bahkan aku sempat dibantu oleh tukang parkir karena hampir saja jatuh masuk selokan.
Padahal jarak dari klinik ke rumahnya cukup dekat. Tinggal menyusuri dua blok, lalu belok kiri, menyeberang jalan, terus kanan, dan sampai sudah. Cuma membutuhkan lima sampai sepuluh menit saja kalau berjalan kaki. Tapi sekarang, lewat dua puluh menit aku baru mencapai setengah jaraknya. My God!
Kenapa si Bocah melarikan diri seperti itu? Kenapa juga matanya melotot kaget begitu?
... Ah! Bocah! Katakan padaku! Kamu menikmatinya juga, 'kan? ... Tidak? Terlalu ... menjijikkan? Ugh!
KAMU SEDANG MEMBACA
Be My Pink
RomanceReading List Dangerous Love - November 2022 @WattpadRomanceID -- [Undies Connoisseur Series] Bima's Concealed Remembrance Ia yang narsis, penuh kepercayaan diri, dan ngaku-ngaku kalau wajahnya memperlihatkan ketampanan di atas batas normal. Pastinya...